Muka Hilang di Tengah Kota

Seorang pria duduk bersimpuh dengan mata terpejam menghadap lima pelayan berpakaian serba kuning. "Sobat... Sobat... Sobat... Datanglah dengan tunduk dalam kesenangan. Terimalah, terimalah, terima secara terbuka. Kuil Puja satu untuk semua, semua untuk satu Kuil Puja. Lawan, bungkam, lenyap, para penentang," para pelayan itu menyanyi di hadapan pria yang bersimpuh.

https://static.pexels.com/photos/356147/pexels-photo-356147.jpeg

Entah sudah berapa kelokan dan sandungan dari perjalanan yang aku sendiri lupa berapa lama berlangsung. Aku hanya mengetahui kapan aku harus beristirahat, dan segera berjalan kembali. Di luar itu aku menganggap kurang penting, atau boleh dibilang dinomorduakan.

Seperti sekarang, kaki dan segenap badan sudah bilang untuk berhenti. Sebagai pemilik kesadaran atas "aku", perlu kiranya untuk menuruti. Tidak sekedar istirahat, keinginanku untuk berbicara kepada manusia juga harus kupenuhi. Sudah lama aku berjalan sendiri tanpa berkata-kata selain kepada diriku sendiri. Disamping itu, aku memiliki tujuan untuk menyerap pengetahuan orang sekitar atas gambaran beberapa ribu langkah kedepan. Aku pun berhenti di sebuah kedai yang sepi tanpa pengunjung.

Seorang wanita paruh baya keluar dari kedai yang dindingnya terbuat dari kayu itu. Wanita itu segera menanyakanku tentang pesanan dan memberi servis tambahan berupa senyum sebelum segera ingsut kedalam.

Belum hitungan jam, dia keluar dengan baki kayu yang diatasnya terdapat sup dan teh hijau.

"Apakah setelah kedai ini ada kota ?" Tanyaku iseng yang terbukti efektif menghentikan kepergian wanita tanpa basa-basi itu.

"Ada, tuan. Kira-kira setelah melewati lima kelokan dan tiga bukit, tuan akan mendapati kota itu," jawab wanita yang mengenakan sanggul itu disertai keterangan jarak.

"Bagaimana dengan keadaan kota itu ? Maksudku, seperti penduduknya, kemakmurannya, atau apa-apa saja yang perlu kuketahui."

Air muka wanita itu berubah tegang. Jari-jarinya sekilas aku perhatikan menegang, mengucek-ucek kain batik yang dikenakannya. Seperti ada keresahan yang tersimpan rapat.

"Maafkan kelancanganku, tuan. Apakah tuan seorang pedagang ?" Wanita itu menyelidik.

"Bukan."

"Jika memang bukan, apakah tuan seorang pandai cendekia ?" Wanita itu tampak belum puas.

"Bukan, aku hanyalah seorang pengembara," jawabku singkat untuk menghentikan sodoran pertanyaannya.

Wanita itu segera mendekat dan segera duduk di kursi kayu panjang bersebelahan denganku.

"Sebaiknya tuan jangan ke sana ! Aku selalu memperingatkan orang-orang yang lewat. Kecuali dua golongan pedagang dan pandai cendekia," ujarnya lirih disertai wajah tegang.

"Benarkah ? Memang ada apa di sana ? Sebegitu menakutkan, kah ?" Aku gantian menyelidik.

"Kota itu membuat manusia tidak utuh ! Memakan jiwa !"

"Hmmm... Benarkah ? Apakah Anda pernah kesana ?" Kembali aku menyelidik.

"Belum. Tetapi terserah, tuan... Yang jelas saya sudah memberitahukan informasi yang perlu tuan ketahui. Selebihnya, tuan sendiri yang menentukan. Bukan begitu ?"

Jawaban wanita itu sudah cukup bagiku untuk mengakhiri perbincangan. Aku segera membayar dan kembali meneruskan perjalanan.

***

Benar saja, usai lima kelokan dan tiga bukit yang kira-kira berjarak kurang-lebih seribu langkah, aku telah sampai ke kota. Aku tidak habis pikir, mengapa kota yang begitu megah dan futuristik ini dapat membuat manusia tidak utuh. Bagaimana mungkin ? Aku kira dengan "kemolekan" kota ini, aku yakin segala macam kebutuhan manusia di dalamnya pasti terpenuhi. Di dalamnya terdapat gedung-gedung tinggi, toko-toko beretalase kaca besar dengan lantai marmer, dan bahkan dengan trotoar yang beralas batu pualam. Begitu pun dengan penduduknya yang tampak segar dan ceria. Mereka berlalu-lalang dengan berpakaian rapi dan tampak kekinian. Aku terkesan dengan penduduk di sini yang tampak terdidik, setidaknya itulah pandangan sekilas yang kudapati dari obrolan di warung kopi.

Berbeda denganku yang berpakaian lusuh dengan noda debu disertai tas besar yang jauh dari kesan indah. Namun, setidaknya aku masih diterima baik. Terbukti dari cara mereka memperlakukanku setiap kali aku masuk ke sebuah bangunan. Aku tidak pernah dianggap sebagai gelandangan.

Sekelebat aku mengingat kembali perkataan wanita itu, dan membandingkannya dengan apa yang telah diserap indera. Ada sedikit penilaian buruk tentang wanita itu. Sejenak terlintas bahwa wanita itu hanya iri dengan kota ini jika dibanding nasib dia sebagai penjaga kedai.

Keindahan yang kota tawarkan memang memberi kepuasan tersendiri bagi visual dan kenyamanan. Tetapi tidak dengan kegelisahanku, berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus mengantarkan kepada sebuah jawaban. Memang, secara praktis tidak terlalu berguna, kecuali untuk mengenyahkan penasaran. Tetapi bagiku, itu lebih baik dari sebuah kebosanan.

Di banyak sudut kota seringkali aku menemukan bangunan yang semuanya tampak mirip, bercat putih dengan lima pilar besar di depan pintu masuk. Para warga hanya menjawab "Kuil Puja" apabila aku tanya tempat itu. Mereka lebih memilih bungkam ketimbang harus memberitahukan secara detail isi dan kegiatan di dalamnya.

Begitu juga sumber-sumber yang aku kumpulkan, kebanyakan dari sumber itu sama sekali tidak menerangkan secara jelas dan terperinci tentang isi dan kegiatan Kuil Puja. Tak terkecuali Alamanak Kota Cahaya Terbitan Terbaru yang katanya memuat hampir seluruh informasi pun ternyata nihil. Bahkan yang paling janggal adalah tidak adanya perpustakaan di kota yang megah ini.

Sungguh aneh. Bagaimana mungkin keberadaan bangunan yang begitu banyak, namun tidak didukung dengan informasi yang seharusnya dapat diketahui ? Instingku bilang, pasti ada yang hendak ditutup-tutupi.

Informasi yang kubutuhkan pada akhirnya datang dari bukan sumber-sumber utama, atau setidaknya pengujar yang kurang berkompeten. Mengetahui profesinya saja sudah diragukan apa yang keluar dari mulutnya sudah bercampur khayal. Dia adalah seorang pria tua berjanggut berprofesi sebagai penjaja boneka tali. Di kesehariannya itu, selain menjual boneka tali, dia juga seringkali bercerita dengan boneka tali. Tentu peran lain dia sebagai pencerita aku paham, tak lain dan tak bukan untuk melariskan dagangannya.

Aku menemukan dia, sebut saja Pak Jenggot, di gang yang agak menjauh dari gegap gempita kota. Cenderung bersembunyi. Kebetulan dagangan dia tidak ramai, sehingga aku bisa berpura-pura membeli sekalian mencari informasi darinya.

Entah mengapa aku merasa dia adalah orang yang mau terbuka atas pertanyaanku. Jika kuterka perihal pikiranku sendiri, boleh jadi karena tampilan dia berbeda dari warga kota. Bahkan, dia tidak jauh berbeda dengan penampilanku yang cenderung lusuh.

"Kenapa berjualan di gang seperti ini, pak ? Bukankah lebih untung di tempat yang ramai ?" Tanyaku basa-basi sembari memegang barang dagangannya yang menurut penilaianku cukup artistik.

Pak Jenggot menggaruk-garuk kepalanya yang hampir ranggas itu dan kemudian menjawab, "percuma, nak. Di tempat ramai anak-anak sudah tidak tertarik dengan boneka tali. Belum lagi kalau ada petugas kota yang melihat, bisa kacau ! Dia tidak suka pedagang seperti saya berjualan."

"Mungkin di depan Kuil Puja lebih aman, pak. Soalnya, saya kemarin melihat orang dari berbagai golongan keluar-masuk di sana. Sepertinya di sana sangat welcome ya, pak. Kenapa tidak coba minta izin kepada pihak pengelola, lalu mulai berdagang di sana ?" Pancingku iseng yang barangkali ada informasi lain bakal keluar.

Pak Jenggot mencabut kacamatanya, memberikan uap dari mulutnya, membersihkan dengan pakaiannya, sebelum ditaruh kembali di batang hidung. "Apakah kamu pendatang di kota ini ?"

"Saya hanya seorang pengembara yang kebetulan melintas, pak," jawabku singkat.

"Sebaiknya engkau jauhi kuil itu, dan jangan pernah mencari tahu atau bahkan menyebut nama itu di kota ini jika mau selamat," raut muka Pak Jenggot tampak serius sembari memandangiku dari bagian atas frame kacamatanya.

"Semengerikan itu kah ? Jika kuterka, bukankah kuil keagamaan itu seharusnya memberikan rasa aman dan damai," aku mencoba untuk memancing agar ceritanya terus mengalir.

Selesai deheman dia segera menjawab, "duduklah disampingku, kuceritakan semuanya kepadamu awal dari kengerian yang tampak damai itu."

Dari berjongkok berhadap-hadapan, aku segera memindahkan bokong dekat Pak Jenggot. Bahkan terlalu dekat, sehingga menurut dia, tiada  orang yang mampu mencuri dengar pembicaraan.

"Dulu kota ini begitu indah, meski tidak mirip seperti sekarang, tetapi aku suka hiruk-pikuk, keramaian, bahkan kesumpekannya. Orang-orangnya juga begitu, mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Bahkan antara pemerintah dan masyarakat juga mengerti akan posisi masing-masing.

Memang tidak dapat kupungkiri ada banyak kebusukan-kebusukan di pemerintahan, Yang bagiku, orang sepertiku, kebusukan yang dia lakukan tidak berimbas banyak kepadaku, selagi hak-hak yang sepatutnya kudapatkan tidak tercabut. Aku merasa baik-baik saja.

Tetapi pendapat tentang kota tidak saja hanya denganku, ada individu-individu lain yang memiliki kesan berbeda. Kesan yang berbeda itulah yang direspon dan mendatangkan sosok yang nampak seperti malaikat. Tanpa cela, hina dan selalu sempurna.

Pada awalnya, Kuil Puja tidak semisterius yang engkau bayangkan. Kuil itu bahkan sangat terbuka, karena memang diperuntukan demi simpati warga. Warga biasa disebut oleh pelayan kuil sebagai Sobat.”

Aku segera bertanya sebelum dia mengalirkan ceritanya lebih deras, “maaf, aku sela, tetapi bukankah kuil itu untuk agama ?”

“Jika engkau telah berkeliling di kota ini dengan teliti, maka kamu tidak akan mendapati satu tempat ibadah bagi agama apapun. Setidaknya agama yang sudah kita kenal lama. Di kota ini Kuil Puja menjadi satu-satunya ‘agama’ warga kota.”

“Hmmm… Bagaimana mungkin ? Mengapa itu bisa terjadi ?” Rasa penasaranku makin dalam.

“Seperti halnya di pemerintahan, para pemuka agama juga tidak lepas dari kebusukan. Ditambah lagi mereka-mereka yang dianggap sebagai penguasa kota serta berlatar belakang keagamaan yang terbilang baik, tidak berbanding lurus dengan kelakuan mereka. Warga yang mengetahui hal itu perlahan kehilangan kepercayaan, baik kepada sosok maupun agamanya. Akan tetapi, menurut pandanganku, itu bukan satu-satunya penyebab.

Sebenarnya warga memang sudah kehilangan kepercayaan saja terhadap agama. Mereka menganggap bahwa agama tidak lagi relevan dengan kehidupan yang mereka jalani. Agama dinilai bagian terpisah dari kehidupan yang mereka jalani, hingga pada akhirnya hilang dari diri mereka.

Memang, agama tidak benar-benar hilang, namun cuma tergantikan dengan yang seolah-olah. Ya, siapa lagi jika bukan Kuil Puja beserta ritual dan ajarannya itu. Tampak tidak masuk akal, tetapi itulah yang terjadi.”

“Lalu, ritual macam apa yang mereka jalani ?” Aku mencoba mengejar lebih jauh.

Mendengar jawaban itu Pak Jenggot segera bergegas membereskan barang dagangannya. Dia hanya sedikit memberi keterangan, yang lebih tepat kutafsirkan sebagai peringatan. “Aku sudah memberitahukan apa yang sebaiknya kamu ketahui. Sebaiknya, engkau jangan bertanya-tanya ataupun sebut nama kuil itu di kota ini jika ingin selamat. Itu saja yang perlu kamu ingat.”

Pak Jenggot benar-benar enggan melayani pertanyaanku meski sudah kucoba berkali-kali memberi variasi pada pertanyaanku. Dia malah mempercepat gerakannya dan segera memunggungiku saat semua barang dagangannya masuk kedalam tas besar. Pedagang itu segera hilang ditelan tikungan gang.

***

Usai mendaftar dengan sodoran pertanyaan yang cukup melelahkan, aku sudah berada di dalam Kuil Puja. Kedatanganku tiada lain, tiada bukan, hanyalah menggenapkan rasa penasaranku. Seperti apa ritual yang mereka jalankan ?

Kuil yang mampu menampung ratusan orang  ini berdesain megah, dengan cat serba putih, langit-langit yang tinggi, bingkai raksasa yang memuat seorang sosok, serta cahaya temaram yang menembus dari lubang-lubang dinding. Kuil Puja sungguh diciptakan dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa kekhusyukan. 

Aku mengantri bersama warga kota yang ditata baris-berbaris mengular. Di kepala antrian terdapat beberapa orang, yang menurutku dia adalah pelayan Kuil Puja. Mereka mengenakan pakaian tertutup serba kuning dengan tudung di atas kepalanya. Sesekali mereka bernyanyi dengan lirik dan isi kidung yang samar-samar aku ingat.

Setelah menghabiskan lebih dari sejam mengantri, aku sudah berada di posisi kelima terdepan, sehingga aku bisa menyaksikan bagaimana ritual itu berlangsung. Sungguh di luar dugaan dan menggelitik pertanyaan tentang warga. Kupikir warga kota sudah kehilangan kewarasan.

Seorang pria duduk bersimpuh dengan mata terpejam menghadap lima pelayan berpakaian serba kuning. "Sobat... Sobat... Sobat... Datanglah dengan tunduk dalam kesenangan. Terimalah, terimalah, terima secara terbuka. Kuil Puja hanya satu, untuk semua, semua untuk satu, Kuil Puja. Lawan, bungkam, lenyap, para penentang," para pelayan itu menyanyi di hadapan pria yang bersimpuh.

Kemudian salah satu pelayan melanjutkan, "pilihlah jalan yang hendak engkau tempuh, emas, perak, atau perunggu ?"

"Emas," singkat saja jawaban si pria.

"Buka mulutmu," ucap salah seorang pelayan yang berposisi berhadapan paling dekat dengan pria.

Gerakan si pelayan begitu terlatih, menyibakan pakaian yang berbentuk daster dan segera menciptakan posisi hampir duduk di atas mulut pria. Tak perlu berapa lama, kotoran manusia sudah hinggap di mulut  dan segera tandas dilahap si pria.

Sejurus kemudian pria pemakan kotoran itu menerima kantong yang terbuat dari goni sebesar buah melon. Pikirku isinya adalah benda berharga, mengingat bunyi yang dihasilkan dari dalam kantong seperti kepingan metal beradu.

"Perak," ujar pemuda berikutnya.

"Terimalah berkat ini." Lima pelayan segera mengerubung dan menyiramkan pemuda dengan air seni yang mengucur dari kemaluan masing-masing. Sama seperti sebelumnya, pemuda yang bersimbah air limbah itu juga menerima kantong.

Sebelum sampai giliranku, perempuan yang berada di depanku sudah tidak kuat lagi. Dari keningnya meluncur buliran besar keringat, matanya terlihat kosong, jijik akan ritual kuil. Dia muntah sejadi-jadinya mengeluarkan seluruh isi perut yang bercampur-campur.

Tak ada satupun yang memberikan iba ke perempuan itu. Justru sebaliknya, seluruh warga justru mengerubung dan bersahut-sahut, "Terima ! Terima ! Terima !" Terima ? Apa maksudnya ?

Seperti halnya aku yang tidak mengerti, si perempuan bingung itu kemudian dibimbing secara kasar ke lantai oleh pelayan yang datang dari belakang. Wajah perempuan itu didekatkan ke lantai, dan pelayan itu memberikan instruksi yang tak kalah kasar, "Terima ! Habiskan ! Selesaikan apa yang kamu perbuat !"

Diiringi cambukan dan omelan lantai kembali bersih dari muntahan. Kembali mengkilap, tanpa deterjen, kecuali hanya lidah sebagai pel dan liur sebagai pembersih.

Setelah kejadian itu, aku berpikir ulang untuk kabur dari ritual gila ini. Rasanya tidak mungkin, mengingat kekejaman pelayan dan pintu keluar-masuk yang berjumlah satu itu sudah kuperhitungkan. Belum lagi pendukung mereka yang banyak, siap untuk menghajar dan mengeluarkanku dalam bentuk mayat.

Aku tetap bertahan dengan segala bayangan menjijikan, hingga giliranku pun datang.

Para pelayan memaksaku bersimpuh yang sebelumnya dalam keadaan berdiri. Seperti sebelumnya, aku diberikan pilihan : emas, perak, dan perunggu. Kupikir perunggu belum pernah dipilih, karena sedari tadi para warga hanya memilih antara emas dan perak. Tentu, aku sudah tau apa yang akan diterima apabila memilih kedua pilihan itu.

"Pe... Perunggu," jawabku terbata-bata.

Sepuluh pelayan segera mengerubung dan menyiramku dengan ludah yang meluncur cepat dari mulut-mulut kotor mereka. Kebanyakan terasa cair dan hangat, namun beberapa lain ada yang terasa seperti lendir.

Aku segera disuruh pergi usai menerima kantong berisi koin emas dengan jumlah yang lumayan. Cukup kiranya untuk membeli perlengkapan, pakaian, dan perbekalan untuk perjalananku berikutnya. Tentu setelah aku membersihkan kotoran yang hinggap.

Namun, entah kenapa terbesit di pikiran tentang Pak Tua Berjenggot, ada pertanyaan yang ingin kutanyakan lagi ke dia.

***
https://stocksnap.io/photo/T2G4U5Q4DE

Aku kembali bertemu Pak Jenggot di gang yang sama. Kebetulan dia sedang membereskan dagangannya. Mungkin aku bisa ikut dengan dia dan berbincang lebih lama di kediamannya.

Pak Jenggot melirikku singkat, lalu kemudian menempelkan pandangannya ke mukaku sekali lagi. "Aku sudah tutup, aku mau segera pulang," jawaban yang sama sekali menurutku tidak ramah.

Aku hanya tersenyum kecut dan segera memberikan makanan yang terbungkus sampul cokelat. "Ini untuk bapak dan keluarga," pemberianku memang sama sekali bukan untuk merayu dia.

Dia segera menerima dan memasukan makanan itu ke tas besar. "Ayo ikut denganku, tak aman berbicara berdua di sini," ujarnya agak berbisik.

Sebelum berjalan dia kembali memperhatikan aku lagi, seperti sebelumnya, dia kembali melemparkan pandangan untuk yang kedua kali.

Rumah Pak Jenggot berada di tengah kepungan bangunan-bangunan besar. Udara di sekitarnya lembab, karena cahaya yang menerangi lingkungan hanya samar dan temaram. Meski demikian rumah yang dia tinggali tergolong bersih. Kendati ada beberapa benda yang centang-perenang kutemui di sana-sini.

Di rumahnya aku sama sekali tidak menemukan anak dan istrinya, kemana mereka ?

"Sepi, ya, pak... Kemana nyonya dan anak-anak ?" Tanyaku dengan nada basa-basi.

Dia hanya diam dan segera masuk, yang menurut perkiraanku dia terlalu lelah untuk menjawab pertanyaanku.

"Kesini, masuklah kedalam." Dia memanggilku dari dalam.

Di dalam rumah Pak Jenggot lebih gelap dibanding di luar. Hanya ada sedikit cahaya yang menerobos lewat sela-sela ventilasi. Dengan bantuan cahaya itu pula aku bisa menerka bahwa Pak Jenggot adalah orang yang berbakat di profesi yang dia tekuni. Itu terbukti dari banyaknya penghargaan dan pigura yang berisikan foto dia dengan orang terkenal.

Setelah melewati sekat-sekat rumah Pak Jenggot, yang sebenarnya lebih mirip lorong itu, aku telah sampai di belakang rumah. Aku mendapati Pak Jenggot sedang memberikan makan kepada hewan, babi tepatnya. Hewan-hewan itu makan dengan rakusnya kendati hidup mereka dibatasi oleh pagar setinggi pinggang yang terbuat dari besi.

Pak Jenggot sudah gila, memelihara hewan ternak di dalam rumah. Parahnya lagi, mengapa dia harus memelihara babi ? Mengapa tidak hewan lain yang lebih dianggap bersih. Mungkin hewan ternak, okelah, tetapi kenapa tidak lainnya.

"Kau lihat mereka, makan dengan begitu rakusnya hingga gemuk-gemuk seperti ini. Menyenangkan ya ?" Dia tetap fokus ke pakan dan babi-babi tersebut tanpa menoleh kepadaku.

"Waaah banyak ya, pak. Kapan mau dipotong ?" Aku mencoba menyambung pembicaraan.

"Tidak akan. Biarkan mereka makan dan gemuk hingga mati dengan sendirinya," jawab Pak Jenggot yang terdengar lirih.

"Kenapa, pak ? Memang tidak rugi sudah keluar uang banyak beli pakan ?" Aku mencoba mengkonfirmasi jawabannya yang sulit diterima nalar.

Dia segera menoleh. Mata kami beradu pandang sepersekian detik. Kuperhatikan ada cairan bening tipis yang menyelimuti bola mata Pak Jenggot.

"Dia adalah keluargaku."

Sampai sini aku menjadi yakin bahwa dia positif gila. Menganggap babi sebagai bagian dari keluarga. Aku rasa seisi kota ini yang sebenarnya sudah gila, itu terbukti dari kejadian Kuil Puja yang baru saja aku alami. Aku segera mengambil keputusan untuk segera hengkang dari kota ini sebelum ketularan gila, lalu menjadi gila sepenuhnya, layaknya Pak Jenggot.

"Mmm... Oke Pak saya masih punya masih urusan, saya harus pergi dulu."

"Sebentar, nak. Kamu boleh pergi setelah mendengar penjelasanku. Ini demi kamu juga," dia sama sekali tidak mencoba menahan dengan tangannya. Ujaran dia nyatanya berhasil untuk menahan kepergianku.

"Oke. Tapi jangan lama ya."

"Engkau lihat babi-babi ini ? Dia adalah keluargaku, para Sobat Kuil Puja. Aku tidak tahu apa yang mereka perbuat di dalam. Padahal aku sudah sering melarangnya untuk ke sana. Peringatanku tidak diindahkan. Dia lebih memilih mereka dibanding aku sebagai suami dan ayahnya. Peringatanku tak jauh berbeda yang kusampaikan kepadamu..."

Aku segera memotong sebelum dongeng yang dia sampaikan bercampur kegilaan, "aku pernah kedalam, aku tahu yang terjadi di dalam. Memang sangat tidak disangka dan teramat menjijikan. Tapi itu hanya sebentar saja, cukup bilas-bilas dan melupakan semuanya selesai. Lihatlah aku ! Baik-baik saja, kan ?"

"Mari kita kedepan, nak." Pak Jenggot memerintahkanku untuk berbicara di teras rumah.

Dari dalam dia segera keluar menghampiriku yang duduk di dipan. "Coba kamu perhatikan dengan seksama." Dia segera memberikanku kaca.

Darahku berdesir, menjadi panas menggelegak, seperti ingin meledak; Ada campuran kepanikan yang harus dinyatakan lewat buliran keringat; Namun dengkulku lemas, tidak terima dan terselip takut. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat, wajahku menghilang ! Rata, hanya ada lubang mata, hidung, dan mulut, sedangkan bentuk keindahan seperti lekukan-lekukan aku tak tahu kemana.

Aku mencoba memeriksa lagi dengan tangan, namun nyatanya memang tidak ada. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dan segera menatapnya kembali. Tetapi percuma, memang begitu adanya, rata !

Aku curiga bahwa Pak Jenggot ini adalah dukun yang membuat wajahku seperti sekarang. Atau bahkan jangan-jangan kota ini memang terkutuk yang berisikan para ahli sihir, hingga membuatku seperti ini.

"Memang aku hanyalah pendongeng, namun tidak semua yang aku katakan adalah perkara khayal. Bukti itu terjadi di dirimu, kan ? Jika sudah begitu, aku sama sekali tidak bisa memperingati dan membantumu." Peringatan Pak Jenggot yang terakhir kali.

Tak lama kemudian sebuah tendangan segera menyarang ke tubuh hingga membuatku terjungkal. Sebelum aku berhasil bangkit dan membalas, dia segera berlari masuk kerumah.

Sepersekian detik, tiba-tiba gerombolan petugas datang mengerubungiku. Dari sela-sela jendela, Pak Jenggot hanya memperhatikanku dipukuli, baik dengan tongkat ataupun tangan kosong. Usai babak belur aku segera digelandang masuk kedalam truk dicampur dengan anjing, babi, dan manusia muka rata seperti halnya diriku.

Aku terlalu lelah dipukuli, aku tidak bisa lagi berpikir, aku sudah kehabisan cerita. Kupikir, kemalanganku aku simpan saja. Semuanya kian gelap hingga akhirnya hitam pekat sepenuhnya.

Komentar