Telunjuk yang bukan milik ibu didapat dari sini |
Ibu ku adalah wanita karir yang
berprofesi sebagai staf pengajar di rumah sakit, di daerah Mangga Besar, Jakarta. Sebelum profesi yang ia arungi saat ini, Ibu memiliki
pengalaman yang boleh dibilang kurang menyenangkan. Ia tidak seberuntung diriku yang belajar formal tanpa harus memeras keringat untuk mendapatkan uang. Kendati
keriput belum muncul di sana-sini, tetapi dari sorot mata dan raut wajahnya
terangkum keletihan yang tidak bisa dipahami kecuali bagi Ibuku sendiri.
Ia biasa mengalirkan cerita masa
lalunya padaku, di sela-sela kesibukannya bersantai menonton sinetron. Hal itu adalah satu-satunya hiburan yang digandrungi ibu, kendati bapak sering
bersilang pendapat mengenai kegemaran ibu itu. “Sinetron ra (tidak) ndidik, cuma bikin orang berkhayal. Udah
ganti berita, Bu !”, ucapan itulah yang sering terlontar dari lidah Bapak.
Tanpa nenek, mungkin ibuku tak
ada, begitu juga aku. Sekilas bicara mengenai nenekku, seorang wanita yang
melahirkan wanita tangguh yang kini menjadi ibuku. Ia meninggal di usia muda
sekitar umur 35 tahun, seperti yang terukir di nisan saat ku nyekar tiap lebaran. Nenek meninggalkan Ibu di umur 3 tahun.
Beberapa waktu yang lalu saat berkunjung ke
rumah almarhum kakek di Solo, nenek “terusan”-ku
(istri baru kakekku) bercerita. Bahwasanya nenekku adalah seorang wanita yang rajin dan
cekatan. Ia tak pernah duduk-duduk dan bersantai, ada saja yang dikerjakannya.
Rupanya gen itu menurun pada Ibuku.
Mungkin melihat potensi Ibu, adik dari Nenekku memboyongnya ke Jakarta untuk membantu di rumahnya. Boleh dibilang Ibu
bekerja selayaknya PRT (pembantu rumah tangga). Ibu bekerja di Jakarta sejak umur
5 tahun, ia diajarkan “banting tulang” di rumah keluarga adik nenek. Mencuci,
menanak nasi, memasak, dan segala tetek-bengeknya ia wajib lakoni. Sebelum penghuni
rumah dan hewan peliharaan di rumah itu bangun, ibu sudah sibuk bekerja.
Setelah semua urusan diselesaikan, beliau melenggang kangkung berangkat
sekolah. Kegiatan itu terus berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya.
Jika dibanding kondisi yang
dirasa sekarang, aku tak seujung kotoran kuku pun dibanding ibu. Barangkali jika
aku di posisi ibu. Aku akan menyebut itu “kerja rodi”, atau bahkan penjajahan.
Mungkin saja aku akan menyebut masa-masa itu sebagai masa kelam, derita, rezim
otoriter, atau bahkan aku akan kabur dari sana.
Perlahan setelah diterpa
pengetahuan dan pengamatan, baik dari literatur dan budaya di keluarga. Aku
yakin ibu secara tidak sadar menganut ajaran kuno Jawa. Ajaran yang membuat Ibu
tahan derita itu berbentuk dua kata, nrimo
(menerima) dan prihatin. Kata sakti
itu barangkali telah terpatri secara kuat di benak dan sanubari ibuku hingga
ia tahan banting.
Kendati demikian adik nenek bukanlah orang yang semena-mena. Meski bekerja dengannya, ibuku selalu dicukupkan
kebutuhannya akan pangan, sandang dan pendidikan. Bahkan sampai saat ini hingga
ia memiliki pabrik. Ia tidaklah seperti “penghisap
darah” yang memeras keringat pegawainya. Ia memiliki prinsip yang hampir
mirip dengan apa yang dituturkan oleh Ciputra, direktur School of Enterpreneurship.
Disaat diskusi yang disertai
peluncuran sebuah majalah pada 2011 silam, Ciputra
menyatakan bahwa dalam berbisnis ada tiga prinsip yang harus diterapkan. Ia
menyebutnya 3P, ”Profit, People and Planet.” Ia menyatakan bahwa orang berbisnis bertujuan
– memang harus – mendapatkan
keuntungan/laba. Namun menurutnya, setelah mendapatkan laba, seorang pebisnis
harus memberikan kontribusi kepada orang-orang yang membuatnya untung, termasuk
masyarakat sekitar dan konsumen. Hal tersebut disinyalir dapat membuat sinergi
yang positif dan kontinyu bagi kemahaslatan perusahaan selanjutnya. Setelah
itu, perusahaan juga harus berkontribusi terhadap lingkungan di mana perusahaan
itu berdiri dan mengekstraksi keuntungan.
Sebelum menjadi staf pengajar,
sebenarnya ibuku bercita-cita menjadi polwan. Tetapi menurut cerita beliau, ia
harus mengurungkan niatnya menjadi polwan akibat gigi bolong yang dimilikinya.
Buatku itu tak jadi masalah, garis takdir yang menentukannya menjadi pengajar
rumah sakit. Selain itu, Ibu juga tak
pernah menyesali profesinya yang sekarang ini ia jalani dan purna.
Pasalnya, menurut cerita ibu serta
kakak dari bapak yang tinggal di Menteng, Jakarta sejak kecil aku adalah orang yang
sering sakit-sakitan dan selalu nyaris direnggut maut. Banyak biaya yang keluar
untuk berobat, namun berhubung ibu adalah karyawan di rumah sakit, aku pun
mendapat keringanan biaya. Sampai saat ini bau rumah sakit dan aroma air
conditioner yang berbau obat-obatan, aku sudah khatam betul. Bahkan beberapa waktu yang lalu lalu, saat aku menjemput ibu di
tempatnya bekerja, salah seorang perawat berbalut busana putih melempar
candaan, “Wah dulu waktu kamu dirawat masih sebesar ini, sekarang sudah jadi
perjaka !” Sontak, candaan itu membuatku tersenyum kecut campur malu. Rupanya
aku si sakit yang lumayan terkenal.
Ada kenangan emosional antara aku
dan Ibu. Kenangan itu berupa cacat di anggota tubuh ibuku. Beliau memiliki
kelainan di ruas paling atas telunjuk kirinya. Jari telunjuk ibu bengkok
permanen, tak bisa diluruskan. Mungkin kebanyakan orang akan menyatakan itu
sebagai hal yang biasa yang bukan masalah. Tetapi buatku, hal tersebut sungguh
spesial.
Kembali
pada masa silam, tepatnya ketika aku belum bersekolah. Ibu bercerita bahwa jari
tangannya bengkok akibat menahan kepalaku saat terpeleset. Pada kala itu di
tempat ibu bekerja, ibu sedang menelepon. Waktu itu hujan mengguyur Jakarta. Selayaknya anak-anak, kata ibuku, aku senang bermain-main. Air hujan yang ada di lantai pun menjadi
sasaran wahana bermain. Karena kurang konsentrasi dan keseimbangan aku pun
terjungkal dalam posisi telentang. Untung naluri Ibu cepat tanggap, memberi
sinyal untuk sigap menahan kepalaku. Tetapi karena kecepatan jatuh dengan
gerakan tangan Ibu yang tidak berbanding lurus. Alhasil kepalaku hanya
berhasil ditahan oleh jari telunjuknya. Malang, kekuatan telunjuk ibu tidak mampu menahan beban kepalaku. Telunjuk ibu pun bengkok.
Lain
cerita jika ibu tidak menahanku, mungkin saja telunjuknya masih sempurna.
Tetapi mungkin aku akan gegar otak ringan atau minimal agak idiot. Namun Allah
berkehendak lain atas hamba-Nya. Boleh jadi telunjuk itu sebagai sebuah tanda
atau isyarat agar aku selalu mengingat jasa ibuku. Sekalipun telunjukku di
bengkokan, mungkin jasa ibu tak akan pernah terbayar lunas atau pun sebanding dengan
pengorbanannya.
Mungkin
aku akan sedikit bersombong untuk mengacungkan jari telunjuk, seraya mengakui
bahwa ibuku adalah satu-satunya wanita yang terbaik di antara wanita lainnya.
Ibuku wanita kuat dan tangguh.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar. Tetapi ingat, hargai pengunjung lain dengan sopan dalam berkomentar.