Narsis Dibentuk oleh Orang Tua

Artikel ini tidak ditulis oleh seorang yang berkompeten atau memiliki latar belakang di bidang psikologi. Tulisan ini hanyalah olahan dari kumpulan banyak artikel yang bertebaran di internet.


Narsis
Narsis sebagai gangguan kepribadian pada manusia masih terdapat tanda tanya besar. Terutama seputar penyebab  bagaimana narsis bisa dibentuk. Para ahli masih memperdebatkan dan belum sepakat tentang faktor utama dan kapan narsis muncul dalam diri manusia. Akan tetapi banyak ahli berpendapat bahwa pembentukan narsis dimulai dari awal perkembangan anak-anak.

Tentu, perkembangan anak tidak pernah lepas dari peran pembimbing yakni orang tua. Peran mereka bersifat sentral, karena dari sanalah awal interaksi sang anak dengan manusia lain. Pada akhirnya proses "belajar" tersebut tertanam dalam alam bawah sadar. Hingga secara tidak sadar membentuk kepribadian mereka.

Seorang narsis bisa lahir dari berbagai latar belakang, baik suku, status sosial, agama, dan sebagainya. Kelahirannya tidak lepas dari bagaimana orang tua memperlakukan sang anak itu sendiri. Tepatnya, dari gaya mendidik sang anak. Berikut ini adalah cara untuk melahirkan seorang narsis disertai dengan deskripsinya :

1.Terlalu Memanjakan Anak
Sebagai orang tua, siapa yang tidak ingin memanjakan anaknya ? Tentu semua orang menginginkannya. Padahal kebiasaan memanjakan yang terlalu tersebut sedikit banyak juga membentuk kepribadian yang tidak sehat. Anak yang sudah terbiasa dituruti segala permintaan dan perintahnya akan menjadi anak yang tidak bisa menghadapi penolakan.

Tentu ini berdampak besar pada perkembangan kepribadiannya kedepan. Hingga pada akhirnya akan muncul mekanisme dalam diri untuk menghindari penolakan berupa sikap-sikap manipulatif. Sikap manipulatif dalam anak bisa berwujud marah atau protes dalam diam. Apabila kalah dalam sikap-sikap tersebut, itu sama saja menyemai bibit narsis pada anak.

Sebagai orang tua dibutuhkan pengertian dan kemampuan khusus untuk menghadapi anak semacam ini. Orang tua harus tahu kapan harus memberi dan menahan keinginan sang anak. Sebagai pembimbing juga harus memiliki kemampuan untuk meredakan, menjelaskan, dan mengarahkan anak apabila sikap-sikap manipulatif tersebut muncul.

2. Terlalu Sering Memuji Anak
Memuji seorang anak memang baik untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Namun pujian yang tidak pada tempatnya dan sesuai kadarnya justru menciptakan malapetaka.

Seorang anak yang terbiasa dipuji akan cenderung besar kepala. Dia melihat pujian sebagai pengakuan terhadap dirinya. Akan tetapi bagaimana jika suatu saat pujian itu hilang ? Sang anak yang selalu dipuji terus menerus tersebut akan menciptakan mekanisme dalam diri yang mendorongnya untuk selalu dalam pengakuan orang sekitar. Oke, apabila sesuai kenyataan. Lalu, bagaimana jika tidak ?

3. Kurang Perhatian dan Kasih Sayang
Fenomena ini sering ditemui di keluarga yang berstatus sosial atas maupun bawah. Keduanya tersandera oleh kesibukannya masing-masing. Sehingga sang anak tidak mendapatkan apa yang disebut kebutuhan emosional.

Di keluarga dengan status sosial atas yang berkecukupan materi, namun minim sisi emosional, akan menciptakan anak yang "gila hormat" dan rendahnya sensitivitas terhadap sesama. Hal ini disebabkan karena kebutuhan mereka telah terbiasa terpenuhi tanpa relasi dengan orang lain. Mereka tidak mengerti arti dari saling "memberi dan menerima".

Di sisi lain. Karena kekurangan materi sekaligus emosional, sejak awal si anak selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian orang tua atau sekedar membahagiakan mereka. Tanpa memikirkan kebutuhan pribadi dalam diri mereka. Hingga pada akhirnya akan tertanam keyakinan pada anak untuk terus mencari pengakuan dan atau kesuksesan sebagai suatu mekanisme mengisi kekosongan emosional.

4. Ekspektasi Terlalu Tinggi
Siapa yang tidak mengharapkan kesuksesan ? Pasti semua orang mengharapkannya. Namun ekspektasi yang terlalu tinggi tersebut justru bisa menjadi boomerang bagi kepribadian si anak. Anak yang sudah terbiasa dipatok dengan target-target oleh orang tuanya akan menciptakan gambaran realitas tersendiri di kepalanya. Gambaran yang dianggap ideal tadi akan dikejar sebisa mungkin untuk memenuhi keinginan orang tua mereka. Tentu hadiahnya adalah cinta dan kebanggaan.

Sehingga untuk menciptakan gambaran yang ideal, seorang anak akan melekatkan hal-hal ideal tertentu pada dirinya demi pengakuan. Sesungguhnya hal semacam ini adalah artifisial, yang mana seorang anak tidak melakukannya dengan dilandasi dengan keinginan diri sendiri. Tetapi hanya sekedar kepentingan orang tuanya semata. Hal ini biasanya terjadi turun-temurun.

Komentar