Menertibkan Kelas dengan Permainan


Akhir-akhir ini gue sering dengar dari guru-guru baru, yang kebanyakan teman, mengeluh tentang sulitnya menertibkan kelas. Terutama saat ditinggal atau jeda pergantian guru. Mendengar problem semacam itu, gue sih cuma senyum kecil.

Mesem gue bukan karena master dalam membina anak-murid. Tidak. Gue sama sekali bukan pelaku apalagi ahli dalam hal itu. Cuma, mendengar hal itu pikiran gue melayang ke belakang. Terbang ke tahun-tahun yang hampir memudar. Tepatnya ketika masih berseragam putih-biru, sekolah menengah pertama (SMP).

Sunyi
Sebagai gambaran suasana aja. Dari kelas satu SMP gue nggak pernah masuk kelas unggulan. Gue selalu masuk kelas buangan paling belakang. Ya tahu sendirilah kalo di kelas itu diisi manusia-manusia macam apa. Biang onar. Paling bontot soal prestasi. Plus kebobrokan lainnya. Jelas gue nggak masuk hitungan.

Tapi jangan salah, kelas yang pernah gue singgahi selalu tersunyi saat ditinggal guru. Bahkan kepala sekolah pernah puja-puji kelas gue sebagai yang paling tertib. Bahkan kalo ada kelas malam, pastilah bunyi jangkrik yang paling kentara. Krik... Krik... Krik...

Kok bisa ? Ya bisa lah... Apa sih yang gak bisa di dunia ini ? Demi kamu akan aku buatkan sebuah candi. #tsaaah

Permainan adalah koentji. 

Permainan ini selalu dimainkan setiap gue naik kelas. Bahkan penyebarannya begitu masif di kelas-kelas lain. Entah karena keasyikannya ataupun karena keefektifannya. Beberapa ada juga yang menolak, terutama kelas unggulan. Mereka yang elit tidak memerlukan itu. Karena dari sananya sudah jinak.

Napoleon Bonaparte
Jadi aturan permainan ini sangat-sangat gampang. Aturan ini dimulai saat guru tidak ada, saat mata pelajaran kosong. Barang siapa yang menghitung sampai tiga, maka permainan dimulai ! Barangsiapa yang mengeluarkan suara meski sekedar tahak atau bersin, maka ada hukuman yang menunggu. Di sini tidak ada kemenangan individu, yang ada kelompok, kelas kami. Kekalahan adalah ketika kita tidak bisa menjaga diri untuk tidak tertib (baca : bersuara).

Lalu apa hukumannya ? Gampang. Memberikan efek jera yang berbeda di tiap gender (baca : jenis kelamin). Apabila laki-laki, maka hukumannya berupa dipukulin satu kelas. Ya dipukulin satu kelas ! Badannya halal untuk diberikan tinju dan sepak oleh laki-laki maupun perempuan. Namun ada beberapa aturan tidak tertulis yakni si penghukum dilarang mengincar bagian-bagian vital. Sedangkan terhukum biasanya juga patuh dengan aturan tidak tertulis untuk menutupi bagian-bagian vital.

Lalu bagaimana jika perempuan ?

Hmmm... Karena masa-masa SMP dikatakan masanya pengenalan terhadap lawan jenis serta tumbuhnya bibit-bibit cabul. Maka hukumannya pun menuju arah sana. Penggerayangan ke tubuh mereka. Hahaha... Gila. Tapi pernah terjadi.

Jreeeeng... Kelas pun tertib. Suara yang paling keras adalah suara di kepala kami. Di situ kreativitas pun justru tumbuh dan berkembang. Beberapa dari kami, untuk menahan suara, lebih memilih gambar atau menulis. Bahkan diantara kami ada yang mengerjakan pe'er. Luar biasa.

Tetapi namanya setiap sistem, selalu akan membusuk. Ada kelemahan. Ada celah. Ada saja diantara kami yang tidak tahan dengan kesunyian. Mereka acapkali bosan. Kalo sudah gitu, ada saja yang iseng. Seperti menggelitik teman sebangku, atau menuduh teman lain bersuara.

Kesunyian pun biasanya pecah. Satu kelas, sebanyak 40 siswa kurang lebih, mengerubung ke korban. Memberikan tinju dan sepak terbaik semampunya. Kalo sudah begitu, badan si korban pun pegal-pegal usai itu. Gue ngga tahu kalo perempuan gimana...

Samsak hidup
Gue insyafi betul kejadian belasan tahun silam bukan merupakan contoh bagus. Andai dulu Komnas Ham dan Perlindungan Anak sudah seganas sekarang. Mungkin kami satu kelas sudah digelandang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan korban pemukulan.

Tapi lebih jauh. Gue lebih mikir efek setelah itu. Masalahnya gue punya teman yang bisa digambarin sebagai "samsak" hidup teman sekelas. Doi pernah curhat sama gue kalo badannya selalu pegel-pegel tiap pulang sekolah. Karena doi selalu jadi bulan-bulanan apabila seharian tidak ada mangsa dari kesunyian. Itu berlangsung tahunan, hampir setiap hari kecuali libur.

Memang sih pernah juga gue jadi "kompor". Tapi jujur saat ini gue menyesal sedalam-dalamnya. Doi terluka bagian dalam yang begitu hebat. Emang gue nggak pernah minta maaf, tapi gue selalu berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuat dia tersinggung.

Sudah tahu luka... Di dalam hatiii ku... Malah kau siram dengan air garaaaam #tsaaah

Sampai sekarang, karena gue masih berhubungan, doi merasa sebal dengan semua teman SMP-nya. Seolah nggak ada kenangan manis. Barangkali gue juga salah satu manusia yang dia benci (diam-diam). Gue baru sadar kalo dia trauma akibat korban bully.

Kalo inget permainan itu gue berharap adik-adik junior gue ngga melakukan hal serupa. Karena untuk memelihara perdamaian dunia ketertiban kelas tidak harus dengan cara sebinal itu. Masih banyak cara lain yang dapat ditempuh, seperti baca Al-Quran, ngerjain pe'er, membuat kerajinan tangan, dan contoh lurus-lurus lainnya.

Eh, omong-omong gue nulis gini sama aja kaya nyebarin ya ? Bodo ah... Siapa suruh meniru, weeek !

Komentar