Bahagia : Jalan Tuhan, Sains, dan Teknologi (Bagian 3)



Bete !
Gue yakin semua manusia pernah ngalamin apa yang dinamakan bad mood. Pemicu bisa datang dari mana saja, apakah diri sendiri, orang lain, ataupun lingkungan. Entah karena ucapan, kelakuan, pekerjaan, asmara, suasana, dan hal lain yang luput disebutkan.

Suasana perasaan yang kacau itu, seringkali merusak hari-hari kita. Di derajat yang paling parah, beberapa orang jadi enggan untuk melakukan apapun. Disebagian lainnya, bahkan berpikiran yang engga-engga (negatif).


Nah, kan ! Ujung-ujungnya dari perasaan masuk ke pikiran. Oleh sebab itu keterampilan menata hati (perasaan) juga engga kalah penting. Omong-omong soal rasa, kuntji yang paling pertama harus dipegang adalah JUJUR. Ya, tentu sama diri sendiri terlebih dahulu. 

Jadi, kalo mau jujur ungkapin perasaan ke doi, sebaiknya tahan dulu. Pintar-pintarlah dulu menata hati. Tanyakan benar-benar apa yang elu rasain. Eh, sebentar... sebentar. Ini ngomongin apa ya ?

Sebelum lebih jauh ngomong soal rasa, sebenarnya ada hal yang penting terkait dengan perkembangan manusia soal rasa. Kita, gue dan elu, yang secara general dikelompokan kedalam manusia Berkebudayaan Timur seringkali tidak diperkenankan - jika tidak boleh dibilang tabu - untuk (terlalu) mengekspresikan emosi. Tentu dalam hal ini bukan bentuk ekspresi seni, tapi dalam bentuk tindakan.

Seperti waktu kecil, terlebih cowok, elu nggak akan boleh menangis tersedu berlarut-larut. Bahkan sudah agak besaran aturan itu bisa berubah menjadi haram bagi pria untuk menangis. Padahal, secara nggak sadar hal itu sama saja menumpulkan kecerdasan emosional seorang manusia. Karena seharusnya, semenjak dini, manusia memang harus bisa merasakan spektrum-spektrum rasa lewat latihan-latihan ekspresi. 

Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional itu sebenarnya teramat penting dalam kehidupan sosial, atau bahkan bisa dibilang sebagai modal. Karena tanpa kecerdasan itu akan melahirkan orang-orang miskin simpati dan empati, bahkan anti-sosial. Gue yakin nggak ada orang yang mau anak atau keluarganya dididik jadi mesin tanpa perasaan, kan ?

Daniel Goleman
Lebih jauh lagi, kecerdasan emosional juga merupakan modal bagi manusia untuk mengenal diri sendiri. Mengutip ujaran Daniel Goleman dalam buku "Emotional Intelligence" bahwa kemampuan memonitor perasaan setiap saat sangat penting untuk memperoleh pemahaman diri dan tuntutan hati nurani. Itu berarti dengan pengenalan sekaligus paham rasa yang datang silih berganti, manusia akan mengerti diri mereka sendiri. Serta tujuan-tujuan dalam hidup yang harus dia capai.

Memang kecerdasan emosional semacam itu tidak bisa diraih dalam satu malam. Tetapi butuh latihan yang lama dan intens. Bagaimana bila sudah terlanjur "tumpul" ? Mungkinkah bisa menata hati agar tetap positif ? Jawabnya bisa.

Metode yang dinamakan A.I.R ini, menurut gue diharuskan menuntut kejujuran, keikhlasan, dan bersifat rahasia. Dalam metode ini, elu nggak perlu implementasikan perasaan lu kedalam tindakan. Karena akan terasa konyol jika perasaan negatif tadi diejawantahkan seperti banting-banting gelas; nangis 3 hari 3 malam; diem selama seminngu; bakar foto mantan; unfriend pertemanan; dan contoh seabreggg lainnya. Enggak perlu sedramatis itu... Cukup bicara dengan diri sendiri. 

Sesimpel apa yang dibilang psikoterapi John Ruskan : Perasaan hanya perlu di-rasa-kan agar ia terbebaskan. Nah lho... Kok jadi agak ribet gitu. Terasa kaya omongan yang diputer-puter, yes ?

Jadi gini, apabila perasaan negatif datang, elu cukup menerapkan A.I.R kepada perasaan itu. Penggunaan A.I.R tergantung dari derajat se-dalam apa perasaan negatif yang hinggap. Contoh kasus begini. Apabila elu kesel sama tingkah orang di kerjaan, nggak perlu di balas. Cukup Akui saja dalam hati lewat kalimat-kalimat bikinan lu. Semisal, "perasaan gue nggak enak banget nih abis digituin sama doi." Atau yang lebih bagus dengan keterlibatan religi, "Ya Tuhan, perasaanku kok nggak enak ya, setelah doi gituin saya. Semoga engkau mengampuni dia." Bebas ! Sekeren atau senyaman mungkin, monggo...

John Ruskan
Nah, kalo masih belum enakan juga, izinkan perasaan itu masuk dengan ikhlas lewat kalimat monolog bikinan lu. Semisal, "gue izinkan perasaan (kesal) ini masuk kedalam diri." Lalu lanjutkan dengan pertanyaan, "berapa lama ? Sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu, setahun, seabad..." Pertanyaan itu nggak perlu dijawab, cukup dirasakan. Jangan biarkan pikiran cawe-cawe.

Jika perasaan negatif itu terlalu dalam dan sudah menggumpal, maka cara terakhir adalah merelakan. Seperti tadi juga, elu bisa menciptakan kalimat monolog seperti "gue relakan perasaan ini pergi dari diri gue." Lalu lanjutkan dengan tanya, "kapan ? Sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu, setahun, seabad..." Sekali lagi, pertanyaan retoris yang nggak perlu dijawab. Biarkan perasaan yang tentukan waktunya.

Metode itu akan berjalan sempurna apabila "proyeksi" perasaan benar-benar dihadirkan utuh. Saran gue sih, bisa juga melibatkan ingatan dan imajinasi ketika sumber kekesalan itu berlangsung. Selain itu, bantuan brainwave juga dapat membantu dalam proses "pemulihan." Saran gue sih gunakan gelombang Alpha dan Theta dalam proses ini. Sebenernya, Katahati Institute juga menyediakan brainwave dalam kaitannya dengan proses "pemulihan". Tapi berhubung gue nggak jualan, ya elu taulah kalo gue ga bakal jelasin.

Oh ya catatan penting lagi nih... Elu juga bisa kok menggunakan media bantuan saat proses terakhir, merelakan.  Saran gue sih, benda-benda keras seperti kayu, besi, atau plastik dapat digunakan saat proses ini. Jangan mencoba gunakan benda-benda yang mudah pecah dan hancur. Alasannya simpel, berbahaya.

Saat proses merelakan, elu bisa menggenggam benda itu. Seiring proyeksi perasaan negatif berjalan, rasakan perasaan itu dalam-dalam disertai genggaman ke benda itu. Kekencangan genggaman tergantung dari seberapa berpengaruh rasa itu kepada kita. Nah, ketika perasaan negatif itu telah hilang, maka lepaslah benda tersebut.

Benda tadi menjadi tidak lagi berguna ketika level pengendalian emosi dalam taraf mahir. Seperti tadi telah disinggung, benda itu hanya sebagai media pembantu. 

Oh ya jangan lupa berdoa lho... Selamat mempraktekan ya !

Komentar