Namaku Kuro

Maafkan kelancanganku Bos, aku telah meminjam smartphonemu diam-diam. Setelah engkau membaca tulisanku ini aku berharap engkau berubah pikiran untuk terus mendukungku menulis.

Ya, mungkin kedengaran aneh buatmu dengan kegiatanku yang satu ini. Aku tahu kamu tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Ya, aku tahu. Tetapi, berilah aku kesempatan...

Kamu juga harus tahu, Bos, bahwa aku seperti dirimu. Partikel dari tebaran miliaran mahluk Tuhan yang mendamba eksistensi. Apakah aku salah ?

Maaf, apabila aku lancang. Aku hanya berbicara apa yang aku rasakan.

Aku selalu senang melihatmu diam di kursi bersama benda kotak besar berwarna hitam yang mengeluarkan cahaya. Jari-jemarimu juga selalu tak pernah lepas dari dua benda yang berbentuk aneh itu. Begitu juga dengan suaranya yang menggugah penasaran.

"Klik... Klik... Klik"

"Ckeretek... Kretek... Ckretek"
Kira-kira begitu bunyinya.

Setelah kuamati dan kucoba terka. Aku yakin benda itu teramat penting bagimu. Seolah "keberadaan"-mu sudah begitu manunggal dengan dia.

Terkadang, disitu timbul rasa iri. Aku engkau acuhkan, dipinggirkan, dan menjadi kurang penting. Memang, aku tahu, aku bukanlah siapa-siapa. Tetapi, ayolah ! Dia itu benda mati.

Karena (sedikit) alasan itu juga aku mencoba menulis. Aku ingin keberadaanku terus engkau akui, Bos. Agar engkau tahu juga bahwa aku bisa lebih keren dari benda itu. 
Mungkin juga kamu, Bos. He... He... He...

Halo Dunia !

Ini kali pertama aku menulis di blog yang sama sekali jauh dari kata keren. Tentu, dua kata lain seperti menarik dan berguna juga tidak masuk dalam kategori.

Tak apalah, toh, ini hanya wadah. Paling penting adalah aku bisa menuangkan ide dan gagasanku di sini.

Sebelum masuk ke duniaku lebih dalam perlu kiranya mengetahui kerak tentangku. Setidaknya kalian tidak perlu bertanya-tanya lagi ketika kita berpapasan di dunia nyata ataupun maya.

Perkenalkan, namaku Kuro. (Maaf) Persetan dengan artinya, yang jelas aku tidak suka. Nama itu adalah nama pemberian. Buatku nama itu menyiratkan ketidak-kreatifan si pemberi nama. Jika ku terka, nama itu tidak terkandung unsur doa maupun makna. Kuanggap itu hanyalah sebagai penanda belaka.

Nama (jelek) itu sudah terlanjur tersebar dan dilegalisasi. Mau melepaskannya pun percuma, sia-sia. Banyak yang sudah memanggilku demikian. (Maaf) Brengsek !

Tetapi karena aku sudah dipanggil, Kuro, yang artinya hitam. Aku akan tetap melawan. Karena hitam adalah simbol perlawanan. Hitam adalah malam, gelap, tak terlihat, dan penuh tanya.

Diam-diam aku tetap melawan. Aku tetap diam ketika namaku dipanggil. Ku biarkan mereka berteriak memanggil namaku seperti tukang obat. Pandanganku tetap lurus.

Mereka tak bisa memanggilku begitu saja tanpa daya tawar dan pemikat. Aku tidak semurahan itu, kawan. Tidak.

Tanpa logistik aku tidak akan datang. Tentu dengan logistik yang memiliki daya pikat juga. Tak cuma itu. Waktu yang tepat juga penentu ketertarikanku. Memanggilku harus tahu juga kapan aku butuh. Membawa logistik tanpa tahu kapan adalah kesia-siaan.

Di satu sisi aku benci atas penamaan itu, namun di lain sisi aku cinta gila. Karena nama itu kebutuhanku terpenuhi. Aku kenyang dan gemuk.

Ada rasa sebal saat tiap kali makan dari jerih sok jual mahal. Setiap suapan terasa nikmat di lidah. Namun terasa bergemuruh di dada. Salah satunya selalu ku tekan dengan pembenaran yang kuciptakan sendiri. Tentu, piramida biologis selalu menjadi dasar, karena dialah keberlangsungan ditegakan. Pastilah dia yang kumenangkan.

Bukankah hidup sudah diatur sedemikian rupa ? Tak perlu engkau menilaiku. Menghakimiku seolah engkau paling benar. Jangan. Engkau akan tahu setelah masuk kedalam sejarahku. Tapi itu pun percuma, karena kau tidak mampu merasa. Sisakanlah sedikit pengertian. Barangkali engkau bisa paham.

Aku dilahirkan dari rahim ibu yang tidak pernah mengenal ayah. Aku hanya dididik melalui puting susu ibuku. Setelah selesai disapih ibuku pun pergi. Entah kemana.

Ayah bagiku hanyalah pria yang datang silih berganti menghampiri ibu. Tidak ada yang menarik dari mereka. Kecuali kebaikan-kebaikan semu yang ditampilkan untuk memikat ibu. Aku tak pernah tau siapa yang aku harus hormati dari banyaknya "ayah" yang datang.

Aku hidup bersama tiga saudara kembar. Aku sendiri tidak pernah mengenal namanya. Hanya sekelebatan ciri fisik yang aku ingat. Mereka pun juga pergi satu persatu. Entah kemana.

Aku menjadi sendirian. Meringkuk ketakutan setiap hari. Bayang-bayang selalu membuatku takut. Siang menjadi tidak pernah menyenangkan buatku. Dia selalu menciptakan bayangan. Itu sama sekali tidak baik.

Berbeda ketika malam datang. Dia sangat sedikit menciptakan bayangan. Dia selalu jujur. Memunculkan yang kecil adalah kecil, dan besar adalah besar.

Namun, tak selamanya bayangan itu menyebalkan. Bayangan itu bisa menjadi indah sewaktu-waktu. 

Ketika lelah bermain dibawah cahaya, dan malam lelap diselimuti gelap. Disitulah bayangan indah bernama mimpi muncul. Semacam film dengan kelebatan-kelebatan cepat penuh pertanda. Atau sekedar hiburan lewat.

Aku pernah punya harap. Agar aku bisa aman bernaung dari sengatan cahaya dan kelaparan. Naif memang. Tapi itulah mimpi jujur dari mahluk sepertiku.

Harap itu pun pada akhirnya nyata. Entah dalam bentuk gelap atau terang.

Aku dipungut, diberi makan sekaligus naungan. Diberikan nama (jelek) yang aku tidak suka. Dipanggil-panggil pula ! Ini namanya pemaksaan !

Aku aman, tetapi kemerdekaanku setengah dijajah.

Perlawanan adalah nama lainku. Aku tidak diam. Aku tetap bergeriliya, baik lewat diplomasi ataupun konfrontasi. Majikan adalah tuan. Tetapi dia bukan Tuhan. Kesemena-menaan jelas harus dilawan.

Bercandaku menjadi kasar, aku memainkan perang urat syaraf. Kukotori tempat-tempat strategis, bagian dari konfrontasi terberaniku. Aksi diam juga kulakukan untuk membingungkan dia.

Mungkin kalian berpikir aku tidak tahu terima kasih. Ya, memang ! Aku hanyalah mahluk liar. Keanggunanku hanya engkau dapati dari kejauhan. Ketika dari dekat kau tahu siapa aku.

Engkau sumpahi aku, silahkan... Karena aku hanyalah KUCING.

Kuro

Komentar