Di tempat gue tinggal, di Gang Kramat, nama gang bukan
sekedar penanda. Tapi ada bentuk fisik. Berbentuk rumah lengkap dengan segala
perabot tanpa penghuni. Saat Lebaran Betawi, orang dari berbagai penjuru
datang dan memenuhi tempat ini. Bahkan aktor/aktris yang memulai debut sebagai
pemain lenong juga acapkali hadir. Sebut saja seperti Malih,
Nori, Nirin Kumpul, Bolot, dan masih banyak lagi.
Banyak aktifitas yang dilakukan di sana. Seperti
menggelar kesenian, membersihkan pesarean
(sebutan tempat istirahat), berdoa, makan-makan, mengganti perabotan yang usang,
dan sebagainya. Intinya semacam selametan rutin lah. Biasanya, setelah acara selesai, selalu ada
kepala hewan seperti kambing ataupun kerbau yang ditinggal. Barangkali
sebagai sesaji untuk menghormati “sang pemilik” tempat.
Bagi mereka-mereka, tentu bagi yang percaya, Kramat
adalah tempat dimana Kumpi moksa, menghilang, atau mupus. Kendati ada kuburan
di sana, orang-orang sekitar yakin bahwa itu hanya petilasan. Tidak ada jasad dalam kuburan itu.
Menurut Orang Betawi, Kumpi bisa diartikan sebagai
bapaknya kakek. Tapi Kumpi yang dimaksud disini bukan itu. Menurut orang-orang
sekitar, Kumpi (yang katanya jago miripin orang itu) adalah pembuka desa tempat
gue tinggal. Seperti banyak legenda, Kumpi juga memiliki kesaktian. Terutama
saat kedatangan ajalnya, moksa ! Sirna segala jasad, jiwa, sekaligus roh dari
dimensi ini tanpa bekas. Warbyasah… Kurang sakti apa coba ?
Cerita-cerita orang-orang asli angkatan tua malah ada
yang lebih ngeri lagi. Konon Kumpi tidak mati, namun menjelma menjadi harimau
dalam wujud ghaib. Bahkan, katanya, ada yang pernah mendengar suara ataupun
melihat sosok harimau itu. Helooo… Jakarta ada harimau ? Jakmania kali, ah…
Macan Kemayoran. Tapi begitulah ceritanya.
Kumpi di daerah gue bisa dibilang sebagai urban
legend bagi penduduk lokal asli. Karena itu pula tak ada yang bisa menjawab ketika
gue bertanya nama asli orang tersebut. Beberapa justru menyebutkan muasal orang tersebut : Banten. Mungkin hal itu yang selalu dikaitkan dengan
kesaktian beliau. Tentu, gue sama sekali ngga
mau debatin hal itu.
Keramaian di Kramat tidak semata-mata saat Lebaran
Betawi belaka. Sekitar tahun 2001, ketika daerah gue belum sepadat sekarang,
banyak orang yang tidur disitu. Justru kebanyakan yang tidur disitu adalah
orang-orang jauh. Katanya sih mau ngalap
berkah… Tapi kebanyakan yang gue dengar justru sebaliknya. Kebanyakan orang
tidur di sana adalah untuk meminta ‘nomer’ atawa judi togel. Memang berkah
ketika dapat, tetapi kalo duit habis untuk masang nomer apakah bukan jadi
musibah ?
Gue pernah denger cerita dari orang sekitar yang
pernah tidur di Kramat. Pertama-tama, kata pencerita, syarat untuk tidur disitu
harus suci dan bersih dari najis. Setelah itu, syarat kedua yakni meminta izin
atau permisi kepada “pemilik tempat”. Setelahnya, untuk menghabiskan malam,
pengunjung bisa berdoa ataupun membaca mantera yang telah disiapkan dari rumah.
Terserah. Nah, ini bagian menariknya… Katanya kalo mendapat restu dari “pemilik”
petilasan, pengunjung akan dibangunkan atau didatangi seekor harimau dan diberitahukan
nomer.
Sebenarnya sih kedengaran lucu memang jika harimau
tidak mengaum dan menerkam, namun justru menyebutkan nomer. Bisa bayangin ngga
sih, harimau lengkap dengan loreng dan kumisnya bilang gini, “pasang empat
kosong dua tujuh, tembus !” Tapi begitulah ceritanya…
Berbeda sebaliknya jika restu tidak didapatkan si pengalap berkah. Bagi mereka yang tidak
mendapatkan restu, keesokan harinya akan dipindahkan ke tempat-tempat lain.
Seperti di jalanan, gorong-gorong, atau pohon di sekitaran. Cerita tentang
kejadian itu seringkali gue dapati di tahun-tahun 2003 kebawah. Namun seiring
berjalannya waktu cerita semacam itu perlahan menghilang.
Makin kesini Kramat tidak lagi dikunjungi orang
untuk mengalap berkah. Maklum judi
online beserta hitung-hitungannya kini telah terkomputerisasi. Begitu juga
dengan kemeriahan perayaan di sana, kini orang sudah makin sepi merayakan
Lebaran Betawi di Kramat. Sekarang Kramat menjadi sepi, begitu juga dengan
ke-Kramat-an yang melingkupi tempat itu. Orang tidak lagi harus mempercepat
jalan atau berlari tiap kali melewati daerah tersebut.
Hanya ada satu yang tidak berubah, Kramat sebagai
tempat tidur. Soalnya, di Kramat pernah dipergoki pasangan muda-mudi yang sedang asyik "tidur" berdua.
Hmm…
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar. Tetapi ingat, hargai pengunjung lain dengan sopan dalam berkomentar.