Hehehehe
Sedikit membagi pengalaman
pribadi saja nih, atau bisa dibilang curhat. Gue sudah tiga kali berpindah
tempat kerja. Dua kali di BUMN dan satunya di swasta yang cukup bonafit. Intinya
mereka semua terkenal dan pastinya gemuk secara finansial. Nama dari mereka
satu-persatu cukup gue dan Tuhan yang tahu. Terpenting adalah fakta bahwa gue
pernah bekerja di sana.
Dari ketiga perusahaan tadi
sayangnya gue tidak mendapatan perjanjian tertulis. Memang dua diantara ketiga
tadi nggak direkrut secara langsung oleh mereka. Tetapi melalui pihak ketiga,
vendor, yang memberikan pekerjaan. Sedangkan lainnya direkrut oleh pegawai dari
perusahaan bersangkutan yang secara peraturan sebenarnya menyalahi aturan
karena tanpa melalui proses administrasi penerimaan pegawai.
Di dua perusahaan pertama tadi,
gue digolongkan menjadi pekerja waktu tertentu atau outsourcing. Seperti apa yang dikatakan UU No. 13 Tahun 2003, gue
diklasifikasikan kedalam pekerja untuk penyedia jasa/buruh. Di undang-undang yang
sama pada pasal 66 gue seharusnya mendapatkan perjanjian tertulis dari penyedia
jasa/buruh atau vendor. Tetapi pada
kenyataan tidak demikian. Padahal,UU itu bersifat mengikat yang berarti dapat
dikenakan sanksi bagi pelanggar.
Sejauh pengalaman gue, tidak
adanya perjanjian tertulis membuat kita diremehkan dalam urusan hak sebagai
pekerja. Sebut saja perusahaan pertama, kedua, dan ketiga yang akan gue
ceritakan diwakili alfabet.
Di perusahaan A, gue menerima
gaji atau upah di bawah UMR (upah minimum regional). Parahnya lagi jam kerja
gue disamakan dengan karyawan di sana. Secara matematika murni, jika
dibandingkan antara usaha dan pemasukan jelas timpang. Ditambah lagi ketiadaan
status disana yang membuat gue sebagai pekerja dianggap ada dan tiada. Terkadang,
itu juga yang membuat kewajiban-kewajiban gue sebagai pekerja offside dari yang seharusnya. Maklum,
waktu itu gue masih "hijau" yang hanya berpikir asal “kerja, kerja, kerja” tanpa
pusing berpikir timbal balik.
Padahal, kewajiban memberi upah
UMR kepada pekerja juga telah dilindungi undang-undang No. 13 Tahun 2003 di bagian
pengupahan pasal 88. Disitu diterangkan bahwa kebijakan pengupahan yang
melindungi buruh salah satunya adalah UMR. Memang di pasal 90 juga diterangkan tentang
penangguhan UMR apabila perusahaan yang bersangkutan tidak mampu membayar.
Namun penangguhan itu tidak sertamerta membuat perusahaan yang bersangkutan
tidak wajib membayar selisih selama masa penangguhan. Karena dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa frasa “…tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah
minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Itu
berarti perusahaan yang bersangkutan wajib memberi selisih upah penangguhan.
Lagipula
alasan pemberian tidak sesuai UMR tersebut juga tidak beralasan, mengingat perusahaan tempat gue bekerja cukup bonafit.
Kasus di perusahaan B agak
berbeda. Gue tidak menerima tunjangan minimal yang memang seharusnya didapat
seperti kesehatan dan keamanan kerja berupa BPJS ataupun tunjangan lain. Cuma
di perusahaan B ini gue bersyukur punya kontraktor yang baik, mau memberikan
“tambahan-tambahan” yang menutup rasa kecewa gue.
Beda lagi dengan kasus di
perusahaan C. Di sini gue mendapatkan kelonggaran yang luar biasa dari segi
waktu. Gue merasakan bagaimana menjadi seorang freelance yang benar-benar free.
Tetapi sayang, kompensasi dari kelonggaran waktu itu pahit. Karena pembayaran
gaji atau honor gue yang luar biasa longgar. Gue bisa menerima gaji atau honor
setelah dua bulan pekerjaan selesai atau bahkan lebih. Gue ngga tahu bagaimana
cara kalian bertahan hidup dari cara pembayaran macam itu. Tapi gue, dengan
“lagu lama”, gali lobang tutup lobang.
Sengsara duka nestapa gue jua
yang akhirnya memberanikan diri buat tanya ke pihak kontraktor. Tapi bukan
jawaban menenangkan pikiran dan jiwa yang gue dapat, malah justru dampratan.
Memang konteks waktu itu dipicu gara-gara gue yang malas-malasan dalam bekerja.
Itupun karena komitmen yang gue jaga juga tidak diimbangi hal yang sepadan. Jadi
untuk apa memberi lebih, bukan ? Ini soal bekerja lho, bukan urusan pertemanan
atau persaudaraan.
Setelah drama itu gue pun balik
badan.
Dari pengalaman gue, ngga ada tuh
sama sekali dendam kesumat atau benci. Gue sih anggap ini sebagai business as usual. Selama tidak ada
tanggungan dan impas, semua gue anggap baik-baik saja. Ya karena ini memang
bekerja, mencari nafkah untuk biaya hidup.
Cuma seperti anak sekarang
bilang, “cutau”, cukup tahu. Sebagai pengalaman dan pembelajaran dikemudian hari, baik untuk diri
sendiri maupun orang lain yang kebetulan sedang mengalami.
Lalu apa yang harus dilakukan
jika mengalami situasi bekerja tanpa perjanjian tertulis ?
Pertama yang harus dilakukan
adalah menagih. Silahkan gunakan jurus dan strategi terbaik dari kaidah yang
tertulis maupun tidak, sampai keluarnya perjanjian tertulis. Jangan berhenti
sebelum perjanjian tertulis dibuat dan ditandatangani kedua belah pihak.
Tindakan ini bukan berarti menjadi pekerja kurang ajar yang terus menerus
menagih, tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri. Karena tanpa perjanjian
tertulis, posisi kita cenderung lemah. Jika sewaktu-waktu terjadi hal merugikan
kita pun tidak bisa berbuat banyak, setidaknya secara hukum.
Dalam menagih pun juga perlu
diingat apabila bekerja untuk sub-kontraktor atau vendor. Jangan pernah menanyakan kepada kontraktor langsung. Karena
akan percuma, itu sama saja melompat jalur birokrasi yang menyalahi aturan.
Memang tidak ada salahnya untuk
dicoba. Apalagi sudah dianggap sebagai “anak manis” bagi mereka. Syukur-syukur
mereka mau berempati untuk kemudian mendesak pihak vendor untuk menyediakan perjanjian
tertulis bagi kita.
Jika tidak, bagaimana ? Beralih
ke langkah selanjutnya. Hengkang. Cabut. Keluar.
Terkadang mundur adalah jawaban
paling bijak sebelum kedua belah pihak terluka lebih dalam. Cara ini tepat,
ketimbang bekerja penuh was-was dan kasak-kusuk karena ketidakpastian. Di pihak
pemberi kerja pun tidak terganggu akibat performa pekerja yang menurun karena
urusan perjanjian tertulis belaka. Di luar itu ada yang lebih penting. Tidak
ada lagi celah untuk saling merugikan. Pemberi kerja dan pekerja terhindar dari
perkara dosa akibat bekerja, yang sesungguhnya harus dimaknai sebagai ibadah.
Namun tidak dapat dipungkiri,
untuk sebagian orang keluar dari pekerjaan adalah perkara yang tidak gampang.
Bahkan jauh lebih pelik dari berganti pasangan atau klub bola. Mereka lebih
memilih bertahan ketimbang bebas di luar tanpa ada kepastian. Itu sah-sah saja
dilakukan selagi ada yang harus digaris bawahi untuk menerapkan pilihan ini.
Pertama adalah cari informasi
sebanyak-banyaknya tentang pemberi kerja, apakah dari berbagai media ataupun rekan
kerja. Pastikan bahwa pemberi kerja memiliki rekam jejak yang baik dalam urusan
komitmen terhadap hak pekerja. Setidaknya rekam jejak itu bisa menjadi acuan
untuk menghilangkan kekhawatiran dirugikan dikemudian hari.
Pilihan bertahan bisa pula yang terbaik
apabila semua hak terpenuhi dan bahkan mendapatkan keistimewaan yang tidak
didapat dimanapun. Bolehlah perjanjian tertulis itu dinomorduakan, sekalipun
celah untuk dirugikan kelak tetap ada.
Kalo elu tipikal pekerja yang
selalu ber-positif thinking terhadap perusahaan, serta
menganggap seorang atasan adalah manusia tanpa sifat korup, rasa-rasanya
perjanjian tertulis itu sama sekali tidak dibutuhkan. Boleh jadi bertahan bukan
lagi menjadi pilihan tetapi memang keharusan.
Kemudian yang juga tak kalah
penting adalah pastikan bahwa kita memang bekerja dengan orang lain. Karena gue,
bahkan elu juga bakal bingung dan bertanya-tanya, bertahan dari apa ? Demikian
pula dengan perjanjian tertulis itu yang sebenarnya tidak perlu ada jika bekerja
untuk diri sendiri. Karena siapa lagi yang paling bisa dipercaya selain diri
sendiri untuk terus komitmen.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar. Tetapi ingat, hargai pengunjung lain dengan sopan dalam berkomentar.