Bos... Bos... Bos...
Semoga engkau tidak bosan menanggapi kecerewetanku yang bernada menyenangkan, elegan, dan tak murahan. Karena engkau bersama Kuro Si Kucing Hitam yang mampu dansa-dansi di atas tuts dengan artikulasi penuh kedalaman. Bukan begitu, Bos ?
Sudahlah... Tak perlu aku berpanjang kalam perkara prakata. Engkau pun mengerti maksud yang hendak aku sampaikan.
Biasalah, Bos, ada gundah gulana yang begitu mencekik hingga harus kupaksa buka jeratnya lewat cerita.
Benar katamu, Bos, aku tidak boleh meremehkan betina. Tidak. Cukup pernah saja dan jangan terulang. Sekarang aku baru kena getahnya.
Getah itu terasa menyenangkan, Bos. Membuatku cemas dengan caranya yang unik. Membuatku malas namun sekaligus trengginas di lain waktu. Sungguh. Ini rasa dan sensasi baru bagiku. Maklum aku pemula dalam hal ini. Aku baru dua tahun di Bumi, jadi jangan engkau tertawakan aku yang terkesan kampungan.
Apakah ini yang bangsamu sebut-sebut sebagai cinta ? Maksudku, cinta dalam contoh yang paling purba. Cinta antara dua mahluk berjenis kelamin berbeda. Cinta yang sebenarnya itu-itu saja... Simpel ! Namun rumit bagi yang merasakan.
Mungkin kerumitan itu bisa engkau urai usai membaca habis ceritaku. Kuharap engkau merasakan yang aku rasakan, Bos.
Kerumitan itu bermula dari mataku yang menangkap sosok rupawan. Asing di mata, namun begitu kukenal melalui naluri. Dia betina, memiliki bulu lebat, dan memiliki tiga warna, emas-perak-hitam. Buntutnya panjang dan besar, lalu membulat di ujung. Jika kuberi tafsir, dia seperti peranakan anggora dan persia yang konon manja itu, Bos.
Gaya dia berjalan sungguh menawan, seperti tarian dalam tempo lamban. Ditambah lagi sorot mata yang tajam dan sendu itu, Bos. Seolah dia memiliki daya kejut hingga membuatku seperti ini.
Memang, pada awalnya aku tak begitu tertarik. Kuanggap dia hanyalah keindahan yang dunia tawarkan untuk mata. Sekedar pemanis...
Namun, perlahan tapi pasti, bayangan dia terus muncul, Bos ! Menghampiriku seperti hantu... Bahkan lebih menakutkan ! Dia bisa muncul di siang hari tanpa takut terik matahari. Mengacaukan pikiranku lewat jengkal lekuk wujudnya.
Awalnya, bayangan dia muncul berkelebat secepat angin. Selayaknya kucing yang tidak bisa diam melihat yang bergerak, aku pun menangkap bayangan itu. Menikmatinya terus-menerus dalam diam.
Seiring kutangkap dan kunikmati, bayangan itu terus melambat hingga akhirnya mematung.
Bayangan dia yang diam justru lebih berbahaya. Dalam diam, dia memberikan perasaan tidak aman bernama resah. Bayangan itu mampu menghardik hingga ke titik penasaran ingin bertemu dengan wujud pemilik bayangan.
Bayangan dia yang diam justru lebih berbahaya. Dalam diam, dia memberikan perasaan tidak aman bernama resah. Bayangan itu mampu menghardik hingga ke titik penasaran ingin bertemu dengan wujud pemilik bayangan.
Namanya siapa ? Tinggalnya dimana ? Apa kesukaannya ? Dan yang terpenting, adakah ruang kosong untuk bersama ?
(Maaf) Brengsek ! Benar-benar mengganggu jadwal tidur dan makan.
Tetapi mau bagaimana lagi, Bos, keresahan itu terus meradang apabila tidak kuturuti. Serasa tuntutan biologis, membuatku sakit di tempat yang tidak bisa kugambarkan.
Aku pun segera cari tahu dimana bedebah terindah yang membuatku kalut itu tinggal. Dari penelusuranku, ternyata dia adalah kucing yang tinggal tak jauh di tempat kita bermukim. Dia kucing rumahan, milik sesorang yang kebetulan juga betina.
Nama dia adalah... Ah, tak penting. Apalah arti nama jika kucing tetap berbulu, ujar William Shakespeare. Begitu kan, Bos ?
Tetapi untuk kepentingan cerita, sebut saja dia dengan Telon. Namun perlu diingat, jangan ubah-ubah namanya dengan cara kau bolak-balik, seperti Lonte misalnya.
Jelas, itu sama sekali tidak lucu, sama sekali. Bukan waktunya pula melucu. Ini perkara sentimentil, Bos. Seperti yang engkau ketahui, perkara sentimentil bisa begitu serius, Bos. Sekalipun untuk mereka yang terbiasa bercanda.
Asal engkau tahu, Bos, rupa-rupanya Telon bukanlah kucing betina penyendiri. Dia termasuk yang paling populer ! Segala kucing ras, kampung, liar dan buduk, rela mengerubunginya. Dia dikelilingi pejantan yang sama denganku.
Motif mereka yang mengelilingi Telon sudah aku endus dari kejauhan. Bau-baunya penuh tipu daya dan syarat kepentingan. Meski aku pun memiliki kepentingan, tetapi setidaknya cara-caraku jauh lebih elegan. Tidak norak seperti mereka-mereka pemakan sampah.
Sebelumnya aku minta maaf, Bos. Hal inilah yang menjelaskan mengapa aku jarang pulang ketika malam. Ini semua gara-gara dia, Bos. Maaf. Semoga engkau paham sebagai sesama pejantan.
Sebenarnya banyak atau tidak yang mengelilingi Telon, bukan jadi soal bagiku. Itu hanyalah perkara angka. Namun, ada ganjalan di hatiku yang benar-benar berat untuk melangkah lebih jauh. Diantara mereka ada sosok yang begitu kukenal. Saudaraku sendiri, Bambang. Iya, Bos, dia yang berwarna kuning kemerahan itu.
Aku tahu dia juga tertarik dengan Telon. Semenjak kemunculan Telon, dia jadi jarang tidur di rumah. Dia lebih suka di luar coba-coba peruntungan meraih Telon. Padahal aku tahu betul dia terlalu patuh untuk ukuran kucing. Bagaimana tidak, dia setiap sore selalu sudah ada di rumah. Entah untuk dicarikan kutu atau sekedar beristirahat. Namun kini, Bambang tidak lagi begitu. Cinta sudah mengubah Bambang menjadi pemberontak. Karena itu pula aku menafsirkannya bahwa Bambang sudah terlalu "dalam" kepada Telon.
Itulah yang membuatku bimbang. Di satu sisi, aku ingin bersama-sama dengan Telon. Bahkan kalau bisa hingga beranakpinak. Namun, sisi lainnya, aku juga sayang Bambang. Aku tak mau membuat hatinya compang-camping melihatku berduaan.
Aku bersama saudaraku, Bambang |
Semoga engkau bisa mengerti dan dapat berikan aku solusi. Kemana lagi aku mencari kebijaksanaan ala manusia selain padamu, Bos. Karena kamulah manusia yang kukenal.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar. Tetapi ingat, hargai pengunjung lain dengan sopan dalam berkomentar.