Mustika Rasa : Karya Sukarno antara Politik, Kuliner, dan Identitas Bangsa

Senja pada akhirnya harus pula menghampiri Sang Putra Fajar. Cahayanya harus meredup tergantikan. Tiada yang mampu menghalangi, karena demikianlah alur sejarah bercerita. Untuk kemudian meninggalkan kesan berupa pengetahuan serta harapan.

Lewat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) "estafet kuasa" diserahkan kepada penggantinya "The Smiling General", Soeharto. Tepat seperti namanya, "sebelas maret", surat itu ditandatangani pula pada 11 Maret 1966.

Entah pemberian kuasa atau mandat, tak begitu jelas.

Namun yang jelas, di 12 Maret 1968 si penandatangan surat resmi dilantik untuk menjadi presiden. Keruan pelantikan Sang Jendral menimbulkan pro dan kontra di banyak pihak. Antara kedua pihak sama-sama mengaku pemegang kebenaran dan bukti otentik.

Sukarno hobi berkebun, Soeharto hobi memancing 
Terlepas dari polemik asli atau palsu, satu yang pasti dan masih dapat diandalkan bahwa pembuatan surat dilatarbelakangi atas benang kusut yang terjadi di masyarakat.

Karena sengkarut bukan tanpa sebab, namun ada faktor-faktor yang memantik. Sebutlah salah satu faktor yang remeh tetapi mendasar : urusan pangan.

Masyarakat akan tetap masyarakat selagi kenyang dan tenang memikirkan pangan di hari esok. Namun akan berbeda apabila masyarakat yang lapar dan khawatir. Dapat saja dalam sekejap berubah menjadi massa, yang dalam banyak contoh, dengan cepat menunjuk siapa keladi. Penguasa.

Data keluaran Production Yearbook FAO, PBB di 1958 menunjukan bahwa persediaan pangan Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Data itu diperkuat pula oleh riset Guru Besar Luar Biasa Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UI Poerwo Soedarmo di tahun yang sama . Bahwa periode 1959 lebih buruk dibanding 1930-an yang mampu mengekspor beras. 

Ancaman ketersediaan pangan sejatinya juga telah diprediksi profesor asal Universitas Tokyo, Toru Yano. Menurutnya Indonesia sebagai bangsa pemakan nasi sudah tidak dapat diingkari lagi bahwa beras menjadi persoalan yang sensitif. Ancaman terbesar Bangsa Indonesia justru datang dari dalam negeri, yang dapat dengan mudah disulut dengan isu kelangkaan dan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok. 

Ketergantungan terhadap beras memang sudah menjadi kegelisahan Sukarno atas bangsa Indonesia. "Rakjat Indonesia sekarang lebih banjak makan nasi daripada dulu per orang. Dulu orang makan nasi, katakanlah vol satu kali satu hari, atau setengah kali satu hari, ditambah dengan matjam-matjam polowijo. Sekarang tidak mau. Pagi-pagi nasi, siang hari nasi, malam nasi, 3 kali, mbok dianjurkan kepada rakjat itu untuk suka makanan lain dari pada beras." Dia kembali menambahkan "Brazil banjak makan kaspe, ja ditambah ini itu, tetapi pokoknja kaspe. Saja datang di Djepang. Oo, orang Djepang itu segala dimakan. Nasi dimakan, djagung dimakan, poros terate dimakan, tjatjing dimakan, semut, saudara-saudara, digoreng dimakan !"
Sukarno, singa podium

Bung Karno bukan tipikal presiden yang asik berleha-leha mendengar isu kelangkaan pangan. Dia jua telah mencanangkan program pangan untuk mengatasinya. Program itu adalah bagian dari Tri Program andalan, yang kedua diantaranya adalah menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara serta perjuangan melawan imperialisme ekonomi dan politik . 

Melalui para menteri dan jajarannya, Sukarno mencanangkan mega-proyek pengumpulan, penyusunan, dan penerbitan aneka resep kuliner. Tujuan utamanya sederhana saja, yakni menciptakan diversifikasi pangan. Sehingga nantinya masyarakat mempunyai rujukan untuk kreasi dapur mereka. Tidak melulu beras sebagai yang utama. 

Sukarno sadar bahwa "kemerdekaan dimulai dari lidah" tidak akan dapat tercapai apabila tidak ada yang dapat dikecap lidah. Dia mengerti untuk mencapai revolusi yang ideal, ketahanan pangan adalah pondasi. Itu mengapa dalam program ini dia begitu ngotot untuk memuluskan gagasannya. Tak peduli dikala itu banyak yang nyinyir sebagai proyek mercusuar. 

Program ini juga sekaligus menjawab sinisme lawan politiknya kala itu yang memprediksi 20% rakyat Indonesia bakal mati kelaparan. Dia dengan apik menyindir mereka dengan "Kerontjong Bersukaria" yang dipopulerkan awal tahun 1964. 

Siapa bilang bapak dari Blitar
Bapak kita dari Prambanan
Siapa bilang Indonesia lapar
Indonesia banyak makanan
Lagu Sukarno yang digubah band bergaya retro-klasik, Deredia.


Proyek yang nantinya dijadikan buku bernama Mustika Rasa ini diselesaikan dalam dua fase. Di fase pertama sepanjang 1961-1962 terjadi banyak sekali kekurangan. Mengingat terlalu banyak kesalahan-kesalahan dalam resep yang dikirimkan dalam bentuk angket yang disebar di pelosok-pelosok desa dan kota. Kendati saat itu penyebaran angket sudah dibantu oleh pamong desa dan organisasi kewanitaan.

Di fase kedua, penggalangan resep lebih bersifat aktif. Jaringan diperluas dengan mengikutsertakan institusi pendidikan, pertanian, perikanan, dan lain-lain. Perluasan jaringan menjadi lebih semarak karena Akademi Pendidikan Nutrisionis juga turut bergabung. Mereka tidak saja mengumpulkan resep dari media, juru masak hotel, restoran, warung, dan rumah tangga. Namun juga melakukan uji masakan untuk mengetahui seberapa jauh ketepatan resep.

Hartini dan Sukarno
Sebagai mega proyek, Sukarno tidak saja melibatkan rakyat untuk masuk dalam pusaran. Tetapi juga istrinya (yang lain), Hartini. Dia dijadikan aktivis politik pangan yang dijalankan suaminya itu. Melalui lawatan ke berbagai daerah, dia menggabungkan politik pariwisata dan pangan lewat Festival Makanan dan Minuman yang dijalankannya. Melalui perhelatan itu Hartini menemukan ceceran resep masakan tradisional yang tersimpan di pelosok Indonesia.

Setelah terkumpul 1600 resep, Mustika Rasa kembali mengalami "uji coba masak". Para ahli masak dan pengolahan makanan didampingi para ahli gizi, pertanian, perikanan, peternakan, dan kesejahteraan keluarga, para siswa sekolah keperempuanan dan semua yang terlibat jejaring pembuatan buku dilibatkan dalam satu festival. Sukarno bersama mereka beriringan menjalani "suatu revolusi jang multi-kompleks karena lahir dari satu problematik jang kompleks."

Mustika Rasa bukan suatu kesia-siaan mengingat Groot Nieuw Volledig Indisch Kooekboek yang memuat 1381 resep buatan JMJ Catenius Van der Meijden atas bantuan pemerintah kolonial sudah terbit dahulu di tahun 1902. Tidak, tidak sama sekali. Mustika Rasa sebagai jawaban atas permasalahan pangan yang dihadapi bangsa dan negara, secara langsung menaikan semangat dan gengsi mereka yang berkecimpung di bidang pangan. Sukarno tidak saja mendayagunakan ahli masak dan gizi menjadi lebih kreatif, namun juga menjadi seorang intelektual yang menduduki posisi kritis akan bentuk serta arah sejarah Indonesia.

Brillat-Savarin
Kuliner sebagai sarana politik telah lama dia kawinkan. Meski Sukarno bukanlah masuk dalam kategori orang yang bertata krama bersantap yang dimaksud Jean Anthelme Brillat-Savarin dalam buku Physiologie du Gout. Bukan. Dia seorang pemakan kuliner yang tergesa-gesa. Waktu di meja makan lebih banyak dihabiskan untuk berbicara. Dia menjadikan meja makan sebagai podium untuk berbicara banyak hal. Setidaknya itulah pengakuan dari sahabat sekaligus dokter pribadinya Dr. R. Soeharto. 

Di lingkup yang lebih luas kuliner juga masuk dalam ranah politik, terutama dalam diplomasi luar-negeri. Sukarno seringkali memperkenalkan Kuliner Indonesia kepada tamu-tamu negara. Menurut pengakuan Roeslan Abdulgani dalam bukunya The Bandung Connection, Sukarno seringkali "ikut campur" dalam urusan suguhan hidangan untuk para tamu agung. Dia tidak ragu memasukan soto, sate, gado-gado, klepon, pukis, lemper, kue lapis, bika ambon, dawet, dan sebagainya. Maka tak heran banyak cerita yang beragam rupa dari koki istana tentang tanggapan tamu luar negeri. Itu pula yang menjelaskan mengapa Menteri Pandit Jawaharlal Nehru tidak cukup puas makan sate Madrawi di istana, namun tertarik mengunjungi rumah makan secara langsung.

Sebagai bangsa, semangat self reliance dalam bidang pangan di Mustika Rasa juga secara tidak langsung terpancar. Indonesia dengan keberagaman kekayaan sumber daya seharusnya bisa dan mampu mandiri secara pangan dengan memanfaatkan keragaman tersebut. Tentu saja, lagi-lagi politik untuk melawan imperialisme secara otomatis dijalankan. Karena dari semangat kemandirian itu pula rantai ketergantungan dapat diputus, yang mana merupakan jalan masuk penjajahan.

Namun sayang, karena politik pula, ambisi kedaulatan pangan Sukarno tidak diteruskan. Jangan kata untuk diteruskan, semangat yang terkandung dalam programnya saja justru terlupakan (atau memang disengaja). Padahal, ada beberapa nilai positif yang sebenarnya bisa dijadikan teladan untuk pemerintahan berikutnya. Terutama adalah nilai pengetahuan dan partisipasi.  

Kendati resep makanan hanya memiliki nilai yang tidak seberapa, namun sumbangannya terhadap Indonesia cukup besar. Keberadaannya bagi bangsa secara tidak langsung juga menguatkan ikatan sebagai bangsa. Karena dari banyaknya resep yang terkumpul dari berbagai pelosok di Indonesia, sebenarnya secara tidak langsung juga terjadi pertukaran pengetahuan dan budaya antara satu daerah dan lainnya. Buku ini menjadi semacam pengikat, atau boleh dibilang silatuh-rasa antar daerah.

Semangat semacam ini yang sangat disayangkan di masa seperti sekarang, mengapa tidak lagi digelorakan. Bahwa karya yang berbentuk abstrak non-bendawi seperti pengetahuan semisal, seharusnya kembali ditumbuhkan di tiap periode kepemimpinan. Sehingga cita-cita membangun jiwa Indonesia benar-benar terlaksana, tidak melulu badan. 

Juga tak ketinggalan persoalan partisipasi masyarakat luas. Penguasa sebagai pemegang kendali pemerintahan seharusnya juga tidak melulu "merasa pintar" atas masalah yang dihadapi. Namun sebaiknya pula menampung ide dan aspirasi masyarakat untuk kemudian diolah, serta dikembalikan lagi kepada mereka. Layaknya pameo lama yang berbunyi dari kita, untuk kita, dan oleh kita.

***


Mustika Rasa
Kini setengah abad telah berlalu, Mustika Rasa sudah menjadi semacam 'pusaka' warisan kuliner Indonesia. Karena mengingat semangat dan 'pembacaan' yang tidak lagi mungkin sama dengan zamannya. Buku setebal 1200 halaman di zaman serba digital rasanya terlalu canggung untuk digenggam dan dibaca. Apalagi untuk sekedar tahu resep, yang sebenarnya tak perlu repot membaca buku. Sekarang sumber pengetahuan semuanya sudah diakuisisi mesin pencari internet.

Selayaknya pusaka, keris, belati, badik, dan sangkur, mereka tidak lagi dijadikan alat berperang dan melindungi diri. Mereka hanya disimpan untuk sesekali dirawat, dipandang-pandang, dan malah terkadang dielus. Tak jauh berbeda dengan Mustika Rasa. Kepemilikannya tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan praktis, namun lebih kepada urusan prestise sejarah. Itu pun bagi mereka yang peduli dan mau tahu.

Karena berbentuk buku, dan tergolong buku lama, banyak di dalam buku ini memuat pengetahuan antik. Tentu, karena buku ini berupa kumpulan resep, maka resep-resep di dalamnya pun memuat banyak resep yang unik dan terkadang jarang ditemukan. Baik secara visual maupun pengecapan.

Memang karena buku lama yang dalam penyusunannya terkendala banyak persoalan, terutama teknologi, buku ini memiliki kekurangan. Seperti ketiadaan visual dari tiap resep yang menyulitkan bagi mereka yang asing akan resep tertentu untuk mempraktikannya. Begitu juga dengan keterangan di dalamnya yang kurang mendetail, serta cenderung mengambil garis besar dari keseluruhan proses mengolah.

Entah ini bagian menarik atau tidak, buku resep ini menggunakan ejaan lama dalam penjabaran resepnya. Mungkin bagi penikmat romantisme sejarah, tentu ini menarik. Namun bagi mereka yang bertujuan praktis dan asing dengan ejaan lama, tentu merupakan masalah sendiri.

Terlepas dari itu semua, semangat dari 'pembacaan' atas Mustika Rasa jauh lebih penting. Sumbangan presiden pertama republik tetap relevan di masa sekarang. Bahkan pembacanya pun lebih luas secara gender. Tidak hanya perempuan.

Karena seperti yang diketahui bersama, di masa lalu urusan dapur menjadi urusan perempuan. Tetapi tidak dengan masa sekarang. Dapur tidak lagi menjadi wilayah kaum perempuan saja, namun juga pria. Bahkan, tak jarang pula perempuan tidak menganggap itu sebagai wilayahnya. Bukan tidak mungkin pula di suatu saat pria memiliki peranan lebih banyak di dapur.

Disinilah Mustika Rasa berperan untuk mengatasi 'pergeseran' tersebut, baik secara akomodatif dan preventif sekaligus.

Secara akomodatif, Mustika Rasa memberikan pencerahan kepada kaum pria tentang resep makanan. Dengan harapan, melalui pengetahuan di dalamnya kaum pria dapat mampu berdikari di dapur mengolah kuliner. Baik bagi dirinya sendiri maupun keluarga. Boleh jadi semangat semacam ini segendang-sepenabuhan dengan cita-cita revolusi berupa berdikari dalam segala lapangan kehidupan.

Sedangkan secara preventif, buku terbitan Komunitas Bambu berbungkus hard cover ini akan sangat menyakitkan apabila melayang dan tepat mendarat di kepala pasangan, baik pacar atau istri. Terlebih mendarat telak di siku buku yang sudah diakui kekerasannya. Tetapi yakinlah, sifat pencegahan demikian sangat tidak disarankan. Disamping sama sekali tidak membuat pasangan pintar dalam memasak, buku ini sama sekali tidak menyediakan resep untuk menghilangkan benjol dan rasa sakit di hati.

*Sebagian besar data tulisan ini disadur dari Kata Pengantar Mustika Rasa yang ditulis JJ Rizal

Komentar