Ojek Setan

Pria itu berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya. Jalannya gontai, lunglai, dan tak jejak. Maklum, usai lembur.

Baginya, seorang pekerja biasa dengan gaji yang standar, tambahan adalah hal yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Sekalipun kadang-kadang harus mengorbankan kenyamanan dan kesehatan.

Kelelahan malam ini berbeda dari sebelumnya. Karena malam minggu ketiga adalah malam terberat. Akumulasi kelelahan dua minggu berlalu, bayangan terima gaji yang masih jauh, disertai keuangan yang kian tipis adalah pemicunya.

Menembus gelap malam sendirian, bukanlah soal baginya. Pikirannya lebih sibuk dengan cara bagaimana bertahan, ketimbang hal-hal yang menimbulkan ketakutan. Pikiran seperti bagaimana cara bertahan hingga akhir bulan dengan uang yang tersisa adalah salah satu dari sekian banyak yang berkutat di kepala. Terutama, soal keuangan yang telah dia kelola lewat jatah pos-pos yang terbagi-bagi atas hari dan prioritas.

Itu mengapa harapan, pertahanan, dan keyakinan dia tumpukan ke selembar kertas berwarna merah bernilai seratus ribu yang terselip di dompetnya. Di kertas itu segala kalkulasi kebutuhan dengan perhitungan yang presisi untuk malam ini dan esok sudah dia curahkan atas nama bertahan.

Dia sudah berjalan selama setengah jam, belum juga ada motor yang melintas. Jangankan motor, bahkan mobil pun bisa terhitung jari. Sekalipun lewat, pria itu enggan menaruh harap mobil itu lantas berhenti untuk sekedar memberi kebaikan berupa tumpangan. Lagipula terlalu banyak kecurigaan untuk percaya begitu saja pada kebaikan yang sebenarnya sulit untuk ditolak.

Ada pikiran untuk memesan jasa sewa tumpangan daring dari gawai, namun lacur sepertinya ketika sepulang kerja dia lupa mengisi daya. Begini nasibnya sekarang, berjalan sendirian menembus sepi malam.

Di derap langkahnya sesekali terselip kekhawatiran yang tiba-tiba hinggap jika tiada ojek malam ini; Pagi yang tiba-tiba datang dan dia tidak cukup istirahat atau bahkan tak sempat tidur; Itu artinya dia bisa kelelahan atau kemungkinan besar telat, bahkan mangkir; Yang berarti adalah predikat karyawan teladan bukan miliknya.

Namun kekhawatiran itu tidak berlangsung lama. Harapan pria itu membuncah, ketika dari balik badannya dihinggapi semburat yang disusul suara mesin : motor.

"Ojek, pak ?" Tanya pria yang berjalan kaki kepada motor yang melintas.

Pria di atas motor hanya mengangguk  tanpa banyak penjelasan.

"Jalan Jamblang, setelah pengkolan ya, pak," si penumpang menambahkan keterangan tempat.

Lagi-lagi si Ojeker cuma mengangguk tanda paham.

Tak menunggu lama, mereka berdua sudah melaju bersama di atas motor. Di awal perjalanan keduanya tak banyak bicara. Kedua tenggorokan mereka seperti tercekat. Hingga salah satu dari mereka memecahkan kebekuan.

"Dek, hampir pagi begini masih di luar ?" Tanya pengendara.

"Maklum Pak, kerja..."

"Hati-hati dek, kalau sudah pagi begini, jalanan jadi rawan," saran si pengendara.

"Rawan ? Rawan bagaimana ?" Si penumpang mencoba menyelidik.

Si Pengendara pun segera bercerita tentang rekannya sesama ojek yang tewas dibunuh. Menurut dia kematian temannya itu begitu tragis, wujudnya hampir sulit dikenali, sangat mengerikan.

"Dia dibunuh sekitar jam segini, begitu kata pulisi." Si Pengendara menegaskan keterangan waktu, lantas dia melanjutkan, "saya sering takut kalau keluar narik jam segini."

Keduanya diam. Lantas Ojeker melanjutkan...

"Bukan cuma yang ngojek dibunuh, tetapi orang biasa juga, dek."

Penumpang hanya diam. Jakunnya turun-naik, cepat. Dia menelan ludah.

"Seinget saya ada dua belas orang  pernah mati dibunuh di daerah sini. Parahnya lagi, pelaku sampai sekarang belum tertangkap, dek" ujar si ojek.

Penumpang masih diam.

"Banyak rumor bilang pelaku sebenarnya tukang ojek juga. Hehehe... Seperti saya," lantas tukang ojek sedikit menoleh. Wajahnya samar berkelir bayangan.

Ada kecurigaan yang penumpang sangkakan ke pengendara yang ada di depannya itu hingga sebagian dirinya ingin mengetahui wujudnya.

Lantas, motor tiba-tiba saja berhenti. Mereka berdua diselimuti kegelapan yang pekat.

Tukang ojek diam. Penumpang bingung.

"Kok berhenti, pak ? " Penumpang mencoba mengklarifikasi.

Tukang ojek tak segera nge-gas. Dia hanya bilang, “sebentar” yang diikuti dengan memasukan tangan kanannya ke jaket.

Rupanya gerakan ojeker membuat kaget si penumpang, dia tiba-tiba melompat cepat dari motor.

"Kenapa, dek ? Mau rokok," Ojeker segera menyodorkan bungkusan yang berisikan rokok.

Dugaan penumpang meleset. Dia lantas menyelamatkan muka, "Ng... Nggak, pak. Bokong saya agak pegal." Dilanjutkan dengan gerakan senam-senam kecil.

Sebenarnya, si penumpang agak ragu juga untuk kembali naik. Dia terlalu curiga dengan joki yang membawanya pulang itu. Terlebih pengendara belum dapat dipastikan wujudnya karena keadaan yang begitu gelap.

Tetapi apa daya, lagi-lagi, bagi seorang pekerja dengan sisa-sisa tenaga, uang, dan tak punya banyak pilihan, tetap melaju bukanlah perkara yang bisa ditawar. Dia segera memberanikan diri dan mencampurkannya dengan harapan keselamatan kepada Tuhan untuk melanjutkan perjalanan.

Motor sekali lagi berjalan, gas ditarik perlahan hingga mencapai klimaks laju. Gelap malam kembali disobek oleh sinaran lampu motor yang memang ditakdirkan tidak terlalu terang itu. Maklum saja perkara usia memang jarang berdusta.

 "Dek, seandainya ada begal yang tiba-tiba jegat kita di jalan. Apa yang Adek perbuat ?" Si Ojek membuka percakapan.

 "Ah, bapak yang bukan-bukan aja nanyanya. Ngapain sih dari tadi cerita yang bikin parno gitu ?!" Penumpang mulai ketus.

"Tadi saya sempat mikir selintas, jangan-jangan pembunuhan yang banyak terjadi di sekitar sini bukan dilakukan oleh penumpang atau ojek. Tapi begal !" Ojeker mencoba mengajukan alasan.

"Ah, males pak. Bahas yang lain aja deh !" Penumpang menolak untuk tenggelam dalam pembicaraan yang menurutnya tidak pada waktu dan tempat yang tepat.

"Kalau cuma berdua sih pasti saya lawan. Adek satu, saya satu," tukang ojek tidak menghiraukan reaksi dari penumpang.

"Kalau bawa pestol atau golok gimana ?" Asal saja si penumpang melempar pertanyaan. Dia sudah terlanjur kesal.

"Barangkali kita mati. Tapi tidak tanpa perlawanan tentunya," seloroh Ojeker.

Dan...

Jlek... Jlek... Drrrrrkkkk. Motor tiba-tiba berhenti.

"Kenapa lagi, pak ?" Penumpang kembali was-was dan bercampur gondok kali ini.

"Maklum, motor kurang main ke bengkel," jawab Si Ojeker bercampur candaan.

‘Jegreeek... Jegreeeek... Trsss. Jegreek... Jreeek... Trsss’. Tukang Ojek menendang-nendang pedal starter, namun hasilnya nihil.

"Motornya masih bisa jalan, pak ?" Si penumpang kembali menyodorkan pertanyaan yang sebenarnya hanya  basa-basi.

Ojeker diam. Malam hitam tak bercahaya. Bulan tertutup gelap. Kesunyian menyelubung. Burung hantu bersahutan. Anjing menyalak dari kejauhan. Angin malam bersepoi pelan. Daun bergemerisik dari dahan pepohonan. Suara langkah hewan melata berkelebat.

“Jadi gini…” Si  Tukang Ojek  segera berbicara ke penumpang dengan tutur cara yang paling manis. Walaupun sebenarnya, hanya mau memberikan opsi, antara berhenti menyewa atau membantu mendorong.

Lagi-lagi, sebagai karyawan biasa dengan segala keminiman pilihan, sikap akomodasi adalah keharusan.

"Siap ? Yak !" Si Ojek memberikan komando seraya bersiap memindahkan gigi apabila tepat pada waktunya.

"Jgrrrr... Glek... Glek... Stak... Brrrrhmmmm." Piston motor kembali membakar bensin sebagaimana seharusnya.

Motor kembali berjalan  hingga mengantarkan penumpang sampai di tujuan. Keduanya berhenti tak jauh dari rumah tujuan, di jalan tanpa penerangan.

"Berapa, pak ?" Tanya Si Penumpang sembari bersiap mengeluarkan dompet.

"Dua puluh lima ribu saja," jawab Si Ojeker tenang.

Sebelum uang berwarna merah itu berpindah dari tangan penumpang, Ojeker tak lantas menerima. Tukang Ojek menghela transaksinya dengan membakar sebatang rokok.

Ambrol sudah rasa penasaran penumpang perihal wajah si penunggang yang mengantarkannya. Jelaslah wajah Si Tukang Ojek disebabkan pendaran api dan ujung bara yang kemerah-merahan.

Dengan lirikan mata, disertai seringai lebar, ojeker segera menyerobot uang berwarna merah itu dengan ujung dua jari tangan kirinya. Diikuti dengan tangan kanan yang membejek  gas.

Brrrrmmmm...

 Motor menjauh meninggalkan penumpang dalam keadaan ling-lung.  

Karyawan biasa dengan pemasukan standar yang menyempatkan lembur hingga pagi menjelang lantas pulang menyewa ojek dengan hanya membawa seratus ribu untuk membayar dan mengharap kembalian, jelas kecewa dan marah…   

"DASAAAAR OJEK SETAAAAAN !!! SEETTAAAAAN ! SETTTAAAAAN !!!"

Komentar